OLEH : HANNOENG M. NUR
INDUSTRI hiburan di layar TV (baca : televisi) seakan menjadi berkah tersendiri bagi para seniman, termasuk pelawak. Ada peningkatan kuantitas penampilan para seniman yang secara logis juga berimbas pada sisi komersial. Meskipun masih perlu perdebatan panjang jika bicara soal kualitas.
Namun perkembangan bagus itu rupanya tidak berlaku bagi kelompok-kelompok lawak. Satu demi satu berguguran, hingga setiap group lawak hanya meninggalkan catatan nama besar mereka, bukan lagi kesempatan berkreativitas. Group lawak Empat Sekawan, misalnya. Beberapa kali mereka berusaha untuk tetap survive secara kelompok, namun selalu saja gagal. Bukan karena tidak lagi bagus, tapi lantaran bargaining position yang lemah, jika berhadapan dengan policy stasiun TV.
Empat Sekawan merupakan salah satu contoh kasus. Di sekitar mereka ada Bagito, Diamor, Patrio, Cagur, Jali-jali, Bajaj dan beberapa kelompok lain. Benar, secara personal hampir semua anggota kelompok lawak itu masih eksis, tapi secara kelompok mereka telah tak berkutik.
Derry, Ginanjar, Eman dan Qomar dari group Empat Sekawan masih tetap mampu mempertahankan eksistensi mereka secara personal, baik di off air maupun on air. Demikian juga Komeng, Jarwo dan Rudi Sipit (Diamor group) atau Eko, Parto, Akri (Patrio group) atau Miing, Unang, Didin (Bagito group) atau Denny, Narji, Wendy (Cagur group) atau juga Atet dan Otong Lalo (Jali-Jali group). Nama-nama diatasi masih berseliweran di layar TV.
Lantas, apakah persoalan utama dari vakumnya kelompok-kelompok lawak hebat itu? Yang paling utama adalah ‘pembunuhan‘ yang dilakukan oleh stasiun TV pada beberapa tahun lalu, saat bisnis hiburan di TV makin menggila. Stasiun-stasiun TV bermain pada sistem perekrutan bintang, yang sepenuhnya dilandasi oleh alasan komersial, sehingga dengan mudah setiap anggota group lawak yang dianggap ‘bukan bintang‘ digeser oleh pihak TV.
Kalaupun semua dianggap bintang, tetap saja para pelawak itu tidak bisa tampil secara group. Stasiun TV mengambil mereka satu-persatu untuk dipasangkan dengan pelawak atau artis lain di program yang berbeda. Situasi itu makin terasa manakala masuk jenis komedi dari Amerika, yaitu Stand up Comedy. Makin kuat pihak stasiun TV memandang lawak hanya dalam batas personal, bukan group.
Benar bahwa alasan vakum atau bubarnya kelompok-kelompok lawak itu bukan hanya karena memenuhi keinginan stasiun TV. Ada hal lainnya yang juga dianggap realistis, yaitu masa keemasan kreatifitas kelompok-kelompok lawak itu memang sudah selesai. Mereka telah melewati masterpiece moment.
Secara alamiah semua kelompok akan bubar dengan sendirinya, entah karena alasan internal maupun eksternal. Alasan internal lebih pada menurunnya daya kreatifitas atau kejenuhan, sementara secara eksternal biasanya karena menurunkan demand dari event atas group lawak itu.
Tapi seharusnya semua group lawak berpikir untuk menciptakan pasar sendiri. Tidak lagi terlalu bergantung pada stasiun TV dan event organizer (EO). Ada platform digital dan media sosial (Medsos) yang bisa dijadikan wadah penampungan kreatifitas. YouTube dan Netflix itu diantaranya. Wadah yang sepenuhnya independen itu dapat dimanfaatkan secara total, seraya tetap bisa menghitung-hitung nilai komersialnya.
Tapi semua kembali kepada semua anggota group lawak itu. Masihkah mereka punya passion dan kecintaan terhadap group lawak mereka masing-masing? Passion dan kecintaan itu unsur paling penting. Sebab, seperti pernah dikatakan oleh Akri anggota Patrio group. “Kite sih sama Patrio masih cinta banget, tapi temen-temen ane udah nggak ada gairah buat ngidupin group lagi.”
Jika apa yang dikatakan oleh Akri itu menjadi kecenderungan global, maka tempat group-group lawak itu hanya ada dalam catatan sejarah. (***)
(PENULIS adalah Pengamat Dunia Hiburan dan Redaktur Senior POSBERITAKOTA)