OLEH : HANNOENG M. NUR
BEBERAPA hari lagi kita akan memasuki Bulan Suci Ramadhan, bulan dimana Umat Islam menjalankan salah satu kewajiban Rukun Islam yaitu berpuasa sebulan penuh. Sebuah bulan yang amat dinantikan Umat Islam karena begitu banyak pintu Rahmat Allah di dalamnya.
Imam Al Ghazali membagi ibadah puasa dalam 3 (tiga) kategori ibadah, yang ketiga memiliki perbedaan tingkat kesempurnaan, meski ketiganya juga tetaplah berada dalam wilayah pemberian pahala dari Allah SWT. Ketiga tingkat kesempurnaan puasa itu adalah:
- Shaumul umum, yaitu puasa yang hanya menahan lapar,haus dan syahwat.
- Shaumul khushus, yaitu puasa yang mampu menahan pendengaran, ucapan dan penglihatan, disamping juga menahan seluruh anggota badan dari dosa maksiat.
- Shaumul khushusil khusus, yaitu puasa yang mampu menahan lapar, haus, syahwat dan pengendalian atas seluruh anggota badan serta menahan seluruh hati dan pikiran untuk tidak memikirkan hal-hal bersifat duniawi, kecuali memikirkan Allah SWT.
Apa yang diungkapkan oleh Imam Al Ghazali, terutama pada puasa tingkat ke-3, tentu saja adalah amat sulit untuk dijalankan oleh manusia awam seperti kita. Hanya para Nabi dan Waliyullah yang bisa melaksanakan itu. Tapi ada satu point yang tetap bisa kita ambil dan laksanakan, yaitu soal pengendalian hati dan pikiran. Secara simple dan umum, kita kaitkan saja itu dengan aktivitas kita di dalam penggunaan media sosial.
Menurut Edward Tufte, ahli statistik asal Amerika yang muncul di film dokumenter orisinil Netflix berjudul The Social Dilemma, “Hanya ada dua industri yang menyebut konsumen mereka “pengguna”, yakni industri teknologi dan obat-obatan terlarang.” Kalimat tersebut seakan menyadarkan bahwa produk teknologi dan obat-obat terlarang memiliki efek samping yang sama, yakni kecanduan. Kecanduan gadget diibaratkan dengan kecanduan narkoba: merusak kesehatan dan jiwa.
Kecanduan terhadap gadget, dalam konteks penggunaan media sosial, memang sudah sedemikian tingginya di masyarakat kita. Secara gejala kejiwaan sampai muncul istilah FOMO. Istilah penyebutan FOMO atau Fear Of Missing Out, yang pertama kali dikemukaan oleh seorang ilmuwan asal Britania Raya bernama Dr. Andrew K. Przybylski pada tahun 2013. FOMO adalah sebuah gangguan kesehatan mental yang menyebabkan seseorang terus menerus merasa “takut tertinggal” oleh informasi yang terus berkembang. Seseorang akan merasa sangat ketakutan menjadi kurang up date tentang segala hal yang terjadi di masyarakat. Maka ia akan selalu berusaha ikut dalam setiap perkembangan yang ada, setiap saat, setiap detik.
Kesibukan menggunakan media sosial itu sadar atau tidak membuat seseorang memiliki rasa marah, senang, iri, nyinyir, bahkan benci terhadap orang lain. Keasyikan itu telah membius. Marah pada pemerintah, iri pada teman, nyinyir pada sesuatu, benci pada yang tak sejalan dengan pikirannya.
Menjalani ibadah puasa di Bulan Ramadhan tentu dibutuhkan kesiapan hati dan jiwa untuk benar-benar bisa mengendalikan penggunaan media sosial (Medsos) secara proporsional tanpa mengurangi pahala ibadah puasa itu sendiri. Ada baiknya mungkin dipertimbangkan sikap JOMO (Joy Of Missing Out) yang merupakan kebalikan dari perilaku FOMO. Perilaku JOMO mengarah kepada sikap tak peduli pada hal-hal yang tidak penting, sehingga mengurangi beban pikiran dan hati. Ibadah puasa sungguh membutuhkan sikap tersebut, sehingga konsentrasi ibadah makin terjaga.
Tentu saja penggunaan media sosial tak bisa sepenuhnya dihindari, terlebih oleh orang-orang yang aktivitas sehari-harinya menggunakan gadget sebagai salah satu sarana. Yang dibutuhkan adalah kemampuan me-manage hasrat dan menentukan prioritas kepentingan pada saat gadget telah ada di genggaman. Jangan sampai Bulan Suci Ramadhan menjadi “bulan yang biasa” atau kita abaikan keistimewaannya, karena perilaku yang keliru di dalam menjalaninya. (***)
(PENULIS adalah Redaktur Senior POSBERITAKOTA)