JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Kasus pemalsuan barang atau pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) makin marak. Salah satu faktor penyebabnya karena terkesan dibiarkan. Selain itu soal penyelesaian penegakan hukumnya, belum sesuai dengan harapan masyarakat.
“Coba, lihat saja masih banyak barang palsu yang beredar bebas di tengah masyarakat. Apalagi proses penindakannya pun masih tebang pilih, sehingga oknum pelakunya masih seenaknya berbuat demikian,” kata Stefanus Gunawan SH MHum, pemerhati hukum masalah HaKI.
Apalagi, tambah peraih penghargaan International Human Right Golden Award 2004 ini, dalam sengketa perdata di pengadilan mengenai hak cipta dan merek, tidak pernah dihasilkan putusan yang membuat jera si pelaku kejahatan HaKI. “Sehingga kondisi seperti ini membuat para pembajak dan pemalsu HaKI tetap bersemangat untuk menjalankan bisnisnya,” ucapnya.
Untuk itu pengurus Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) DPC Jakarta Barat kubu Juniver Girsang ini, mengajak insan terkait dan pemerintah untuk bersama-sama membenahi proses penindakan perkara HaKI meski perlu waktu dan proses.
“Tentunya, dari diri kita sendiri harus ikut merubah bersama Pemerintah. Sebab, satu negara yang hukumnya sudah baik, itu nanti akan menularkan kebaikan di semua sektor. Baik itu ekonomi, sosial maupun politik,” ujarnya.
Namun demikian advokat Ibukota satu ini,.masih berharap dalam penegakan hukum di bidang HaKI dapat mencerminkan rasa keadilan karena terlihat adanya kemauan pemerintah dalam hal ini yakni Dirjen Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM yang sudah melakukan pembenahan.
“Pembenahan itu salah satunya dengan diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 20/2017 tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran HaKI,” ucap dia.
Menurutnya bila merujuk Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, penegakan hukum hanya dilakukan ketika ada delik aduan. Sementara pada Pasal 95 UU No. 28/2014 dijelaskan, proses penegakan hukum hak cipta diselesaikan melalui, penyelesaian sengketa perdata dan tuntutan pidana pelanggaran.
Bayangkan saja, sampai saat ini dalam sengketa perdata di pengadilan mengenai hak cipta dan merek, tidak pernah dihasilkan putusan yang berkaitan dengan ganti rugi. “Selain itu, dalam menjatuhkan putusan pidana pada kasus pelanggaran HaKI, pidananya sangat jauh dari pidana maksimum. Kedua hal tersebut telah membuat para pembajak dan pemalsu HaKI tetap menjalankan bisnisnya,” katanya.
Stefanus menambahkan sebenarnya permasalahan penegakan HaKI disebabkan adanya attitude tertentu dari pihak penegak hukum sendiri, yakni polisi, jaksa sebagai penuntut umum dan pengadilan. Untuk itu, seharusnya pemegang HaKI harus memiliki strategi tersendiri untuk mempertahankan dan melaksanakan.
Oleh karenanya, ia mengusulkan adanya perubahan atau revisi UU HaKI saat ini, terutama pada penindakan. Sebab penindakan masalah ini harus memberikan efek jera. “Hukum harus ditempatkan sebagai panglima. Siapa saja yang bermain-main atau melacurkan hukum harus ditindak,” tegasnya.
Menurut Stefanus apabila kedepannya hukum ditegakkan seadil-adilnya, maka negara ini akan berubah jauh lebih baik lagi dan menjadi negara hukum yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini. ■ Red/BUD