JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Di era 80-an pentas kesenian tradisional masih mensugesti kalangan penonton. Bahkan tidak sedikit seniman pernah mengalami masa kejayaan. Sebut saja dijagad pementasan teater, baca sajak dan puisi serta kesenian lain – di mana masyarakat kerap mendatangi (menonton) sejumlah pementasan di pusat-pusat kesenian di Ibukota.
Namun kini, kondisi tersebut seakan hilang karena ‘gairah’ penonton, sudah tersihir oleh masuknya kesenian atau budaya Barat tanpa batas. Tak heran jika kesenian tradisional pun disebut telah mengalami masa suram. Apalagi setelah memasuki era 2000-an.
Para penggiat kesenian tradisional atau seniman gaek, sedikit memiliki regenerasi. Sebagian besar dari mereka telah uzur dan bahkan telah meninggalkan kita. Makanya, jarang ada lagi pementasan yang dapat menggairahkan penontonnya.
Satu dari puluhan sanggar yang tengah tumbuh berkembang dan mencoba eksis, yakni Sanggar Swargaloka, justru masih memiliki kepedulian kuat. Hal itu dibuktikan lewat Pentas Drama Wayang (Drayang) bertajuk ‘Sang Penjaga Hati’, seperti yang disuguhkan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Senin (17/6) kemarin.
Bersama tiga disiplin seni (tari, musik, teater), pementasan ‘Sang Penjaga Hati’ persembahan Sanggar Swargaloka, secara tematis tampil tanpa sekat mengguratkan arah pesan moralistik. Menghentak dan menggetarkan jiwa lebih dari 700 penonton yang memadati GKJ.
Sejumlah seniman, budayawan dan beberapa mantan birokrat ikut menyaksikan pertunjukan tersebut. Mereka antara lain Romo FX Mudji Sutrisno, Muhamad Sobari, Deddy Mizwar, Tarzan, Nungki Kusumastuti, Ir H Erman Soeparno MBA MSi (politikus, mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI), Eny Sulistyowati (Triardhika Production) serta beberapa pejabat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Ditilik dari berbagai elemen estetika panggung, ‘Sang Penjaga Hati’, ternyata mampu dan berhasil mengolah bentuk dan ruang artistik pertunjukan, tentu saja melalui lakon wayang sebagai basis penciptaan karya. Bahkan tim kesenian tersebut, berhasil membuat lintasan tradisi dan non tradisi menjadi satu kesatuan yang utuh dalam dialektika kreatif.
Termasuk dari segi directing (penyutradaraan), keaktoran, rancangan tari (koreografi), tata panggung, pencahayaan dan properti serta penciptaan karakter melalui tata kostum yang terukur – berhasil mengantarkan pertunjukan ini mencapai kualitas karya monumental (26 tahun Sanggar Swargaloka berkarya).
Sedangkan pementasan ‘Sang Penjaga Hati’, diproduksi Sanggar Swargaloka Jakarta. Disutradarai oleh Bathara Saverigadi Dewandoro, yang juga bertindak sebagai koreografer serta menjadi _rule of story/tokoh utama lakon, berperan sebagai Narasoma.
Karya tersebut juga diperkuat para aktor-aktris panggung didekatif, yang cukup lama berperan dalam khasanah seni Wayang Orang. Sebut saja, Agus Prasetyo (Salya), Ali Marsudi (Puntadewa), Achmad Dipoyono (Bagaspati) dan Dewi Sulastri* (Setyawati). Dukungan lain datang dari ratusan seniman muda berbasis seni tradisi yang tergabung di Sanggar Swargaloka Jakarta.
Karya tersebut juga didukung kepiawaian komposer muda Gregoriyanto Kris Mahendra, sebagai penata musik. Keunikan instrumen musik yang digunakan (tradisi dan modern) berhasil mendinamisir dan membangun imaji penonton sehingga larut ke dalam pesan yang ingin disampaikan.
Tak salah jika disebut bahwa Sanggar Swargaloka berhasil mengantarkan ‘Sang Penjaga Hati’ menjadi sebuah seni pertunjukan multimedia (visual art, tari, music, dan sastra), kaya tafsir. Sukses memberi ruang edukasi bagi anak-anak muda yang terlibat dalam proses, ikut mengapresiasi dan semakin memahami budaya Indonesia, melalui bentuk seni pertunjukan yang menghibur, dan atraktif.
“Pastinya, Drama Wayang akan terus berevolusi untuk menemukan format yang tepat agar layak mendapat predikat opera terbaik dunia. Oleh karenanya, kami memerlukan kritik dan saran agar kami terus termotivasi menjadi lebih baik,” terang Pendiri Yayasan Swargaloka, Suryandoro, di mana pergelaran ini menjadi kado istimewa peringatan Ulang Tahun ke-53, bagi seniman serba bisa tersebut.
Sementara itu ada satu hal menjadi minus pertunjukan ini adalah sistem audio kerap ‘putus-nyambung’, kemudian mengganggu emosi aktor dan aktris serta merusak artikulasi dialog yang kurang tersimak. Namun secara umum pertunjukan ini berhasil menghipnotis penonton.
Pertunjukkan ‘Sang Penjaga Hati’ bercerita tentang Sang Penjaga Hati, Dewi Setyawati, menemani ke manapun kekasih hatinya (Narasoma) mencari kesejatian hidup. Karena cinta pula, Setyawati harus terpisah selamanya dengan Bagaspati, ayahnya. Lantas, lantaran faktor cinta, Narasoma kemudian merelakan Dewi Madrim, adik semata wayangnya harus terpisah dengannya dan melepaskan ke tangan Pandu.
Pengorbanan mendalam adalah ketika Narasoma harus meninggalkan Dewi Setyawati ke medan laga. Perang Bharatayuda telah memanggil ksatria Mandaraka yang sudah tidak muda itu, turun ke gelanggang payudan demi Pandawa. Semua ini dilakukannya demi cinta untuk Sang Penjaga Hati. ■ RED/GOES