JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Bakal diajukan dan disahkannya oleh Pemerintah terkait Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), sangat jelas sekali bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan karakter atau jatidiri bangsa. Bahkan indikasinya keluar dari asas dasar negara yakni Pancasila, sebagaimana termaktub dalam Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pandangan tersebut secara tegas dilontarkan Bang Dailami, sapaan akrab Prof Dr H Dailami Firdaus, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) yang juga dikenal sebagai Ketua Dewan Pembina Pusat Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) dan Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil DKI Jakarta.
“Karenanya, saya ingin mengajak seluru elemen bangsa, agar menolak bakal disahkannya RUU P-KS,” tegas Bang Dailami saat diminta tanggapannya oleh POSBERITAKOTA, Kamis (18/7) di Jakarta.
Menurut pandangannya bahwa justru terlihat sekali RUU PKS tersebut, memiliki dasar mengubah cara pandang masyarakat untuk mengikuti pola feminisme yakni ‘Tubuhku adalah Milikku’ (My Body Is Mine). “Di mana setiap bentuk pengaturan terhadap tubuh dan perilaku seksual perempuan, mereka anggap sebagai bentuk kekerasan berbasis gender atau kekerasan seksual. Hal itu tentunya berbahaya dan sangat bertentangan sekali dengan agama dan kultur budaya di Tanah Air,” papar dia.
Atas dasar pemikiran tersebut, ulas Bang Dailami lebih lanjut, maka tidak ada siapapun (orangtua, nilai agama dan negara) yang bisa mengontrol dan mengatur perempuan ingin berpakaian seperti apa, berperilaku seksual seperti apa dan dengan siapa?
Dalam pandangannya dengan ditambah point-point di bawah ini, jelas memperlihatkan dan menggambarkan bahwasannya RUU PKS, jelas harus ditolak! Kenapa? Karena bukan menjadi solusi, tapi justru akan membuka konflik baru, perihal kesetaraan dan lain-lain.
1. Asas RUU P-KS tidak berasaskan Pancasila dan UUD 1954 serta asas religiusitas.
2. RUU P-KS dapat menghapus dan membatalkan beberapa pasal UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, juga Hukum Perkawinan yang sesuai dengan ajaran Islam bagi pemeluknya, karena konsep penanganan kekerasan seksual dalam Islam sangat berbeda dengan RUU P-KS ini.
3. BAB VII Pasal 11 pada RUU P-KS ini, tidak mencantumkan ‘Zinah’ (hubungan seksual diluar nikah, walaupun atas dasar suka sama suka) sebagai Kekerasan Seksual yang dapat dihukum pidana.
4. RUU P-KS tidak membedakan antara kekerasan seksual suami isteri dalam keluarga yang telah sah melalui perkawinan, dengan kejahatan seksual yang dilakukan oleh non suami istri.
5. Pemaksaan Kontrasepsi : Pasal 14 Pemaksaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c adalah
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk mengatur, menghentikan dan/atau merusak organ, fungsi dan/atau sistem reproduksi biologis orang lain, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, sehingga orang tersebut kehilangan kontrol terhadap organ, fungsi dan/atau sistem reproduksinya yang mengakibatkan Korban tidak dapat memiliki keturunan.
“ Definisi ini juga harus di tambahkan mengenai bagaimana mengatur peredaran atau penyebaran alat
alat kontrasepsi dan obat obat obatan serta alat alat peraga seksual agar tidak dijual umum atau mudah didapatkan,” ulas Bang Dailami.
6. Pasal 16 RUU P-KS yang berbunyi: “Perbuatan menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan perbuatan seksual adalah pidana perkosaan”. Pasal ini sangat absurd menilai kejahatan pidana perkosaan. Sebab hubungan seksual suami istri tidak selamanya dimulai dalam posisi saling menyetujui terlebih dahulu, sebab hubungan seksual keduanya telah sah, saat mereka melaksanakan akad nikah di KUA dan lembaga hukum lainnya.
7. Pasal 17 yang berbunyi: “Atau tekanan psikis lainnya, sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan, diancam pidana pemaksaan perkawinan”.
Pasal ini telah mengingkari dan mendelegitimasi kedudukan dan hak kedua orang tua/wali dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Untuk melangsungkan perkawinan, seorang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin dari walinya”. Bahkan pasal ini telah mengancam sistem wali dalam ajaran Islam, bahwa wanita bila menikah harus izin dan dinikahkan oleh walinya. Sebab ‘tekanan psikis’ yang dimaksud dalam pasal ini tidak jelas dan rinci, bisa jadi nasihat dan bujukan orang tua agar putrinya menikah dianggap pidana.
8. RUU P-KS, mengarahkan umat Islam di Indonesia hidup dengan sistem perkawinan Liberal Barat (westernisme dan liberalisme), bahkan mendelegitimasi adat istiadat perkawinan dan kekeluargaan yang ada di Nusantara.
“Sedangkan untuk point-point lainnya dalam RUU P-KS yang dapat dimaknai secara liberal dan multitafsir serta akan menjadi beban Pemerintah, karena adanya pembentukan lembaga baru. Di mana seharusnya Pemerintah lebih menguatkan lembaga yang ada dan sesuai dengan kondisi saat ini,” pungkas Bang Dailami. ■ RED/AGUS SANTOSA