Analisa Konstruktif, LEMBAGA PUBLIK (YAYASAN) Tetap Butuh Pengawasan Internal & Eksternal

OLEH : AGUS SANTOSA

FUNGSI Pengawasan atau sosial kontrol yang datang baik dari internal maupun eksternal, jelas sangat dibutuhkan dalam sebuah lembaga publik. Apalagi jika lembaga publik tersebut (contoh : Yayasan) bersentuhan dengan hajat orang banyak. Ada partisipasi publik di situ, misalkan dalam bentuk kontribusi pendanaan (kolektif dana warga) yang kemudian dikelola oleh lembaga tersebut.

Jangan serta merta terusik dan tiba-tiba marah, manakala ada yang melakukan fungsi pengawasan yang datang baik dari internal maupun eksternal terhadap lembaga publik tersebut, lantas diasumsikan sebagai bentuk ‘buka aib’. Justru datang atau munculnya sosial kontrol, boleh jadi bakal membuat para ketua atau jajaran pengurus yang ada dalam struktur Yayasan, dapat melaksanakan fungsional-fungsionalnya secara baik dan pas.

Terlebih jika keberadaan Yayasan itu sendiri sebagai lembaga publik, memiliki semacam Anggaran Dasar/Anggaran Dasar Rumah Tangga (AD/ART) yang dijadikan landasan sekaligus komitmen bersama di dalam menjalankan roda kelembagaan atau organisasi yang berbentuk Yayasan dan bahkan sudah berbadan hukum.

Idealnya, sebuah lembaga/organisasi dalam bentuk Yayasan yang mengacu pada AD/ART, dipastikan harus memiliki aturan terkait adanya bentuk laporan pertanggungjawaban (LPJ) tahunan. Dan, LPJ tersebut bisa disampaikan oleh kapasitas bendahara kepada jajaran ketua maupun seluruh ketua atau pengurus bidang yang ada dalam struktur pengurus Yayasan.

Artinya apa? Apabila muncul pertanyaan publik (warga-red) terkait transparansi (keterbukaan) pengelolaan dana Yayasan, bakal satu suara di dalam memberikan jawaban. Tidak terjadi kesimpang-siuran. Transparansi pengelolaan dana pun bisa diakses seluruh pengurus, karena bisa saja itu nantinya bakal disesuaikan dengan kebutuhan dana di dalam melaksanakan program kerja (Proker) setiap bidang, seperti yang diatur dalam AD/ART.

Bukan tidak mungkin, jika keberadaan Yayasan di lingkungan atau wilayah RW (rukun wilayah) dan membawahi sebuah masjid, karena cikal bakalnya atas persetujuan atau dipilih oleh RT-RT (rukun tetangga) sebagai refresentatif dari seluruh warga – tidak lantas kemudian memisahkan atau berdiri sendiri tanpa ada pengawasan dari eksternal. Jelas, keberadaan Yayasan tetap bisa dikontrol yang datangnya dari eksternal.

Tak ada salahnya jika kelembagaan RW, RT-RT atau personal warga minta difasilitasi untuk mengevaluasi keberadaan Yayasan. Tentu untuk mengetahui sejauh mana progres (kemajuan) jalannya roda lembaga publik/organisasi yang sudah dicapai? Kenapa tidak misalnya, mengusulkan re-strukturisasi para ketua atau jajaran pengurus – jika ada atau terjadi kekosongan akibat mengundurkan diri atau tak fungsionalnya salah seorang ketua.

Fungsional-fungsional ketua atau kepala bidang yang ada di Yayasan, kenapa tidak untuk dilakukan evaluasi? Jika untuk tujuan menyerap potensi atau elemen yang ada di lingkungan, kenapa pula tidak dilakukan secara bergiliran? Jika pun ada pengurus yang justru diinformasikan oleh sesama pengurus tidak punya kapasitas kemampuan di situ (misalkan bendahara), apa salahnya jika harus dire-strukturisasi.

Kapasitas bendahara apabila dituntut bikin laporan, jangan lantas merasa takut dengan jajaran Ketua Yayasan atau bahkan oleh seseorang yang selevel di bawahnya. Sebab, fungsional utama seorang bendahara, ya harus dan bisa bikin laporan keuangan (dana). Yang penting, selama ini pihak yang mengingatkan atau melakukan fungsi pengawasan eksternal atau internal itu tadi – tidak under estimate (berprasangka buruk) alias menuduh telah terjadi mall administrasi dalam hal pengelolaan dana. Jadi kenapa harus terusik, marah dan takut? Ya, sebaiknya jangan dong!

Kembali ke soal asumsi ‘buka aib‘, janganlah Ketua Yasasan – kemudian diberi info yang salah bahwa adanya fungsi pengawasan atau kontrol sosial dari eksternal, bertujuan ‘buka aib’. Sebab, jika bicara organisasi atau lembaga publik, jelas merupakan yang sah-sah saja datangnya fungsi kontrol dari siapa pun atau dari luar.

Hal paling penting lain dalam keberadaan Yayasan, perlunya secara proforsional terhadap fungsional jajaran ketua. Bagaimana mungkin, jika posisi Bendahara atau Sekretaris misalnya (orang ke-2 atau ke-3) dalam organisasi atau lembaga publik – kok bisa ‘disetir‘ oleh level ketua atau wakil ketua bidang yang berada di level bawahnya?

Bahkan apabila ada yang salah bertindak atau melakukan sesuatu non prosedur (ketua atau wakil ketua), jelas patut menjadi catatan. Atau jangan sekali-kali ditolerir alias dibiarkan. Artinya, jangan sampai ada orang yang justru tak paham bersentuhan dengan organisasi atau kelembagaan, eh ini malah bisa seenaknya mengatur jalannya roda organisasi.

Kurang pas jika kemudian orang yang bersangkutan merasa paling benar dengan menyebut tak perlu kebanyakan teori. Yang penting praktek. Ini lho ada analisa dan logika yang patut direnungkan. Seorang dokter itu sebelum praktek untuk melakukan operasi, ya harus lebih dulu mempelajari atau tahu betul teori bedah. Jadi, tidak main hantam kromo, perut pasien main bedah saja.

Atau, misalkan lagi ada seorang pilot, ya harus belajar teori mengenal mesin, bagaimana idealnya operasional pesawat saat di udara atau ketinggian tertentu, kemudian terbang dengan selamat. Mulai dari take of sampai pendaratan. Semoga analisa ini, bisa membuka wacana berpikir kita semua, terutama bagi yang sedang terlibat dalam pengelolaan lembaga publik (contoh Yayasan), apalagi di situ ada kolektif dana publik alias dari warga. Aamiin ya robhu alammin (***)

PENULIS OPINI adalah Wartawan Ibukota dan pemerhati masalah sosial kemasyarakatan dan organisasi.

Related posts

Diproduksi ‘Planet Herbal’, MADU HITAM MUJAHID & KLANCENG Punya Khasiat Jitu untuk Asam Lambung Serta Keluhan Penyakit Lain

RAMAI BERKAT UNGGAHAN VIDEO, PRODUK SARUNG BERGAMBAR ANJING DIBANTAH SEBAGAI ‘SINGO MENGKOK’

JELANG KEBEBASAN APRIL MENDATANG, ANGELINA SONDAKH TRAUMA POLITIK & KEPENGEN TERJUN KE DUNIA MUSIK