Jadi Fenomena Keagamaan, “HIJRAH KALANGAN MILENIAL : PISAU BERMATA DUA”

OLEH : HANNOENG M NUR

PADA beberapa tahun terakhir ini marak kegiatan keagamaan yang berlabel “hijrah”. Fenomena itu tampak sekali terjadi di kalangan milenial, dari berbagai strata sosial. Namun yang paling terlihat mencolok tentu saja adalah yang dilakukan oleh kalangan figur publik, dari mulai artis, penggiat media sosial hingga pengusaha. Tentu saja kegiatan mereka lebih terlihat karena peran kuat pemberitaan.

Ada banyak kelompok atau komunitas keagamaan yang “isinya” adalah orang-orang yang hijrah. Kelompok itu bukan saja mengadakan acara pengajian yang bersifat intern, tetapi juga membuat acara-acara yang diperuntukan bagi publik, seperti tabligh akbar, pameran bernuansa Islami hingga konser musik.

Di masyarakat sendiri masih berkembang beragam pendapat tentang aktivitas dari kalangan yang berhijrah itu. Ada yang memandang sangat positif karena yakin kalangan yang berhijrah melakukan hijrah psikis (hati dan pikiran), namun ada juga yang meragukannya dan memandang hijrah mereka baru dalam taraf hijrah fisik (terutama cara berpakaian).

Apapun bentuk hijrah itu, psikis atau fisik, rasanya tetaplah harus dipandang secara positif. Toh, intinya adalah perubahan ke arah yang lebih baik, secara agama maupun sosial. Bahwa jika ada yang hijrah baru sebatas fisik pun selayaknya disambut baik, setidaknya ada keinginan untuk menghormati etika yang berlaku di masyarakat, dalam konteks kesopanan dan kepatutan. Karena yang telah hijrah sudah pasti tidak akan menggunakan lagi busana-busana yang dianggap vulgar dan menabrak kaidah atau etika yang berlaku di masyarakat.

Di satu sisi, aktivitas hijrah itu menimbulkan rasa senang, tapi di sisi lain, kegiatan hijrah massal itu juga memiliki potensi lahirnya kecemasan. Mengapa demikian? Kita tahu secara positif kegiatan hijrah membuat masyarakat senang, karena secara umum memang masyarakat kita adalah masyarakat yang tidak jauh dari nilai-nilai relijius.

Namun aktivitas hijrah itu juga agak mencemaskan karena hampir seluruh jamaah hijrah itu masuk ke dalam sistem pengajaran Islam yang cenderung keras dan konservatif. Nilai-nilai Islam diajarkan dengan metode yang kaku dan radikal (secara penerapan) sehingga para jamaah pun menyimpan itu sebagai sebuah kebenaran yang paling hakiki, seraya menafikan kebenaran dari sudut pandang yang berbeda. Kebenaran absolut itu mau tak mau akan berdampak pada terpinggirkannya tafsir-tafsir lain.

Sebahagian besar jamaah hijrah milenial adalah para person yang memiliki pengetahuan agama yang minim, akibat pergaulan sosial maupun latar belakang kehidupan mereka. Minimnya pengetahuan agama itu akan jadi sesuatu yang mencemaskan manakala dimasuki oleh paham-paham yang cenderung keras dan jauh dari kesan toleran ke pihak lain pemeluk agama yang sama, yang secara kebetulan memiliki penafsiran berbeda tentang hukum-hukum Al-Qur’an dan hadist.

Hal tersebut bukanlah isapan jempol, namun benar-benar terjadi dalam berbagai kasus. Ada beberapa artis yang mulanya terlihat moderat dalam soal beragama, tiba-tiba saja berubah drastis; bukan saja penampilannya, tetapi juga pemikirannya. Dengan gampang mereka mengkafirkan orang lain atau mengharamkan sesuatu yang dianggap oleh pemeluk Islam lain bukanlah keharaman.

Kecemasan itulah yang dimaksud. Sebuah kecemasan akan makin berkembangnya pemahaman agama yang kurang toleran karena sikap keras dan konservatif. Memandang bahwa rata-rata pelaku hijrah adalah kalangan milenial yang memiliki pengaruh sosial yang kuat, maka sangat terbuka kemungkinan bagi makin meluasnya sikap keras (bahkan radikal) di masyarakat. Bagaimana pun para figur publik itu adalah menjadi role models bagi masyarakat.

Selayaknya harus tetap ada pengawasan yang intensif terhadap kegiatan-kegiatan kalangan yang berhijrah itu, tanpa mengganggu kebebasan beribadah mereka. Eksklusivisme mereka harus sangat dilonggarkan sehingga bisa secara transparan dilihat dan dipahami pola pengajaran seperti apakah yang mereka peroleh dari para guru agama.

Ini bukan berarti mencampuri atau mencurigai kegiatan beragama, hanya sekedar upaya untuk menjaga keseimbangan nalar setiap orang atas penerimaan ajaran agama, tidak hanya dari satu sudut pandang saja. Harus terbuka ruang diskusi yang mengarah pada pembentukan sikap toleran terhadap pemahaman lain yang diyakini oleh pemeluk agama yang sama maupun terhadap pemeluk agama lain.

Dengan sikap husnudzon, kiranya kita tetap menjaga dan mengingatkan agar aktivitas hijrah kalangan milenial itu tidak seperti pisau bermata dua: melahirkan rasa senang sekaligus kecemasan. (***)

(PENULIS adalah Redaktur Senior di POSBERITAKOTA)

Related posts

Rasanya Sulit Tembus 51 Persen, PILKADA JAKARTA 2024 Bakal Melalui Dua Putaran

Siapa Lebih Unggul di Pilkada Jakarta, DUEL STRATEGI Tim Sukses Prasetyo Edi Marsudi versus Ahmad Riza Patria

10 Tahun Era Jokowi, PERS NASIONAL Darurat Kelembagaan – Krisis Identitas & Expansi Bisnis Masif Kurang Etika