OLEH : HANNOENG M. NUR
KETIKA Usmar Ismail akan memulai shooting hari pertama film “Darah Dan Doa (Long March Of Siliwangi”, 3 Maret 1950, pasti ia tak terpikir kalau hari itu akan menjadi tonggak sejarah terpenting di dalam industri film nasional. Terlebih saat 49 tahun kemudian Dewan Film Nasional mencatat hari itu sebagai Hari Film Nasional, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden BJ. Habibie melalui Keputusan Presiden nomor 25 tahun 1999. Ya, tanggal 30 Maret adalah Hari Film Nasional.
Sebenarnya film garapan Usmar Ismail yang berjuudul “Darah Dan Doa” itu bukanlah film pertama yang diporoduksi di Indonesia. Jauh sebelumnya, yaitu tahun 1926, telah lahir film Indonesia pertama berjudul “Loetoeng Kasaroeng”, yang disusul oleh film “Lily Van Shanghai” di tahun 1928. Namun kedua film itu dianggap belum sepenuhnya produksi anak bangsa, karena masih masih kuatnya dominasi Belanda dan Cina di dalam proses produksinya. Film “Darah Dan Doa” dianggap lebih nasional. Pertama, karena diproduksi sepenuhnya oleh orang Indonesia dan kedua, film itu diproduksi pasca kemerdekaan Indonesia.
Lalu saat sekarang insan film memperingati Hari Film Nasional, apakah sesungguhnya yang paling terasa kontekstual dengan industri film saat ini? Sepertinya hampir tak ada. Sekarang ini bukanlah moment ketika 20 atau 30 tahun lalu, yaitu saat digencarkan kampanye “film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri”. Film Indonesia telah menjadi tuan rumah, namun tetap saja para tamu hadir dan lebih menarik minat seisi rumah. Para tamu itu adalah film-film asing yang memang secara tema dan teknis jauh lebih menarik dibandingkan film Indonesia.
Mungkin memang tidak fair, tidak apple to apple, memperbandingkan film nasional dengan film Hollywood, misalnya. Tetapi kemanakah acuan kita kalau bukan ke Hollywood? Ada film-film produksi India, Korea atau negara lain, namun tidak memberikan pelajaran banyak secara teknis kepada para insan film. Film-film itu lebih bicara soal komersial. Ikuti trend dan laku. Maka kemudian banyak para sineas yang meangalihkan pandangannya kesana, ke titik komersial. Ya sah-sah saja, tidak salah juga.
Trend untuk bikin film komersial rasanya harus juga dipandang sebagai bentuk “rasa frustrasi” sebagian sineas kita; tak mampu mengejar kualitas teknis, maka raihlah kemenangan secara komersial. Benar bahwa akan sangat sulit buat kita untuk menyamakan kualitas film kita dengan film-film Hollywood, apalagi melebihinya, karena memang ketersediaan equipment dan kemampuan pekerjanya sangat jauh berbeda levelnya.
Diskusi akan selesai jika menyangkut soal itu. Tetapi bukan pula itu bisa dijadikan alasan kuat untuk para sineas tidak menggali sumber peningkatan kualitas pada celah yang lain. Apa lagi kalau bukan budaya lokal. Budaya lokal adalah sumber peningkatan kualitas film nasional yang tak akan ada habisnya.
Senang mendengar bahwa film “Wiro Sableng” yang diproduksi di tahun 2018 ikut pula diminati oleh 20th Century Fox Film Corporation sehingga mereka mau terlibat di dalam proses produksinya. Tak perlu dicari-cari secara rumit, pasti minat mereka terhadap cerita Wiro Sableng itu adalah karena unsur budaya lokalnya yang kuat. Kekuatan itu lalu diperkaya oleh teknis penggarapan yang berteknologi tinggi, maka jadilah “Wiro Sableng” film yang bagus secara tema dan teknis.
Film “Wiro Sableng” itu selayaknya jadi salah satu ukuran tentang bagaimana sebuah film produksi lokal mampu diminati oleh kalangan internasional. Memang film”Wiro Sableng” bukanlah film pertama. Sebelumnya ada “The Raid” dan “Firegate”. Kedua film ini kuat secara budaya. “The Raid” dari sisi silatnya, sementara “Firegate” dari soal misteri yang ada di Indonesia.
Dari film-film tersebut, sekali lagi, dapat ditarik sebuah kesimpulan sederhana bahwa “jualan” kita ke dunia internasional seharusnya adalah budaya lokal. JIka kemudian kita lebih sibuk diskusi panjang lebar soal trend, soal minat pasar, ya selesailah penanjakan kualitas film kita. Jika sebuah produksi film hanya didasarkan pada trend atau minat pasar, maka film itu akan tetap melangkah maju, melaju mengikuti trend atau pasar, bukan kualitas.
Semoga masih banyak sineas yang berpikir untuk membuat sejarah kualitas, bukan sekedar sejarah komersial. Penonton film Indonesia yang di tahun 2019 tercatat mengalami kenaikan secara signifikan sebanyak 230% pada perjalanan lima tahunnya, yang jika dihitung dengan angka maka didapat jumlah 30 juta penonton, adalah potensi yang luar biasa bagi para sineas untuk terus kreatif.
Bravo, insan film Indonesia. Selamat Hari Film Nasional. (***)
(PENULIS adalah REDAKTUR SENIOR di POSBERITAKOTA)