Harus Proforsional & Fungsional, MERASA ‘HUTANG BUDI’ Tak Dikenal dalam Tatanan Sebuah Organisasi Sosial Kemasyarakatan

OLEH : AGUS SANTOSA

BANYAK di antara kita manakala ‘baru‘ atau yang sudah ‘kapalan‘ masuk dalam sebuah organisasi sosial kemasyarakatan, kurang begitu memahami patokan dasar kerja untuk menghindari pro dan kontra pemikiran, yakni akan pentingnya kepemilikan anggaran dasar/anggaran rumahtangga (AD/ART). Karena apa? Jika memiliki AD/ART dan kesepakatan dalam pola kerja, niscaya miss comunication (salah paham-red) akan sikap profosional dan fungsional – tidak bakalan terjadi.

Apa itu, proforsional? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘proforsional‘ adalah sesuai dengan porsi tugas kerja atau sebanding dan seimbang. Sedangkan kata ‘fungsional‘ itu sendiri punya arti bekerja sesuai jabatan dan mengacu pada aturan yang sudah disepakati, semisal acuannya adalah AD/ART yang ada.

Oleh karenanya, tak dikenal seseorang yang punya fungsi jataban ketuabendahara atau sekretaris, kemudian harus merasa ‘Hutang Budi‘ kepada pihak lain. Apalagi merasa ‘dijadikan’ (disupport) atau direferensi (diusulkan) untuk menduduki ketiga jabatan di atas. Setelah organisasi sosial kemasyarakatan itu jalan dengan acuan AD/ART, kemudian seenaknya ‘disetir‘ oleh pihak lain yang merasa ‘Memberi Hutang Budi‘.

Ditilik dari sisi tatanan dalam ber-organisasi sosial kemasyarakat saja, jabatan ketua bisa disebut ‘orang pertama‘ dan tertinggi. Sedang untuk jabatan sekretaris atau bendahara, bisa disebut ‘orang kedua‘ atau ‘orang ketiga’ dalam organisasi. Tidak kemudian bisa ‘disetir‘ oleh pihak luar, apalagi terhadap orang yang memberi ‘Hutang Budi‘ itu tadi.

Jika ketua paham akan proforsional dan fungsionalnya, tentu jangan serta merta ‘diam‘ seribu bahasa, manakala organisasi sosial kemasyarakatan yang dipimpinnya ‘di-justifikasi‘ (dicela-red) karena nggak bisa kerja. Seharusnya, pertanyakan balik, apa kapasitas seseorang itu pada lembaga yang dipimpin? Kok tiba-tiba mencela seenaknya?

Begitu pula seorang dengan jabatan bendahara, kalau sadar sebagai orang kedua atau ketiga dalam organisasi, jangan takut misalnya manakala harus membuat laporan dan meminta bukti-bukti kuat untuk mendukung laporannya – kepada jajaran di bawahnya. Atau, semisal lagi ada bendahara di masa transisi – harus dikonsultasikan ke tingkat pimpinan (Ketua Umum/Ketua Harian) – sebelum mengucurkan dana program. Karena hal itu perlu dikontrol dan dibuatkan detail laporannya.

Terlebih lagi organisasi sosial kemasyarakatan itu adalah sebuah lembaga publik. Yang mengkolektif atau mendapat kontribusi pendanaan rutin dari masyarakat. Jangan karena merasa ‘Hutang Budi‘ pernah direferensi dengan jabatan itu, kemudian menurut saja dengan seseorang yang kapasitasnya justru selevel dibawahnya. Jadi, pemahaman proforsional dan fungsional, jangan dibolak-balik karena itu tak lazim dalam sebuah organisasi sosial kemasyarakatan.

Begitu pula kapasitas seseorang dengan jabatan sekretaris yang tiba-tiba seolah membenarkan diri dengan menginisiasi program bersama pihak yang juga selevel dibawahnya dalam hal fungsional. Tanpa ‘kulonuwun‘ lagi kepada setingkat Ketua Harian atau Ketua Bidang dalam organisasi. Seenaknya menempuh cara non prosedural, ibarat mau ‘menelikung‘ langsung berhubungan dengan Ketua Umum.

Lagi-lagi, jangan karena ‘Hutang Budi‘ terhadap seseorang kemudian mendukung langkah yang sejatinya tak lazim dalam sebuah tatanan organisasi sosial kemasyarakatan. Belum lagi, tak ‘meng-orangkan‘ fungsional ketua-ketua lain, contoh di jajaran pembina atau pengawas.

Tentang kapasitas keberadaan pengawas organisasi, selayaknya menegur atau menyetop langkah inisiasi program organisasi yang semaunya sendiri. Apalagi sudah melangkahi kewenangan dengan ambil ‘jalan pintas‘ seolah-olah ingin mendapatkan pembenaran soal langkahnya yang keliru kepada Ketua Umum (Yayasan) misalnya.

Yang jelas ‘Hutang Budi‘ itu tak lazim atau tak dikenal dalam dinamisasi kerja sebuah organisasi sosial kemasyarakatan. Lebih-lebih jika ada ‘kepentingan ekonomi‘ di situ. Karena, azas musyarawah dan mufakat, saling terbuka dalam komunikasi sesama ketua atau pengurus dalam sebuah organisasi sosial kemasyarakatan – justru akan mencuatkan transparasi dalam program atau bidang apapun yang dikerjakan.

Tidak cuma seorang atau satu kelompok saja yang merasa berbuat sesuatu. Tapi, bagaimana caranya agar sebuah pekerjaan besar dalam organisasi, juga atas andil arahan Ketua Umum, Ketua Harian, Bendahara, Sekretaris serta seluruh elemen pengurus yang ada. Karena ada bentuk sinergitas (kerjasama) di situ.

Kalau boleh mengutip sebuah pepatah ‘Jangan Takut Benarmu Disalahkan, Tapi Takutlah Kalau Salahmu Justru Dibenarkan‘ – setidaknya baik bagi penulis maupun pembaca marilah sama-sama mengedukasi diri kita. Sebab, perubahan maindside (pola pikir-red), itu sangat perlu terutama bagi siapa pun orangnya yang mau belajar. Tentu tanpa didasari oleh sikap ‘like and dislake’ alias suka dan tidak suka. (***)

(PENULIS adalah Wartawan Ibukota dan Pernah Menjadi Karetaker Proses Pemilihan Ketua Yayasan sebagai Proses Berdirinya Sebuah Organisasi Sosial Kemasyarakatan Berbadan Hukum dan Kini Tinggal di Bekasi)

Related posts

Rasanya Sulit Tembus 51 Persen, PILKADA JAKARTA 2024 Bakal Melalui Dua Putaran

Siapa Lebih Unggul di Pilkada Jakarta, DUEL STRATEGI Tim Sukses Prasetyo Edi Marsudi versus Ahmad Riza Patria

10 Tahun Era Jokowi, PERS NASIONAL Darurat Kelembagaan – Krisis Identitas & Expansi Bisnis Masif Kurang Etika