OLEH : TONY ROSYID
ANIES memang tangguh! Gubernur DKI Jakarta yang satu ini semakin melejit namanya. Dihajar dari semua sudut, tidak hanya popularitasnya, tapi elektabilitasnya justru naik.
Pertama, Anies selalu dibully. Terus dicari kesalahannya. Tuduhan tak pernah ada henti-hentinya. Mulai korupsi jembatan ambruk, hingga rumah gratifikasi sebagai kompensasi reklamasi. Karena tak terbukti, ini mendatangkan semakin simpati publik ke Anies.
Tuduhan yang tak terbukti, apalagi itu bertubi-tubi, justru menjadi poin positif yang secara politik, itu sangat menguntungkan bagi Anies. Popularitas makin tinggi, begitu juga dengan simpati publik.
Saat Ketua KPK “berencana” akan meminta keterangan dari Anies terkait korupsi Dirut PD. Pembangunan Sarana Jaya, Yoory C Pinontoan, ada pihak-pihak yang mulai memanfaatkan isu ini. Seolah, isu ini bisa membunuh karakter Anies.
Kasus ini mendorong publik untuk membuat perbandingan. Jika Dirut BUMN tersangka korupsi, apakah sang Menteri terlibat? Dalam kasus Dirut BUMN, Menteri seringkali tidak dimintai keterangan. Baik Menteri BUMN maupun Menteri Keuangan. Publik akan bertanya-tanya: kenapa Anies dimintai keterangan?
Ini hanya analogi awam. Publik secara umum memang awam. Soal hukum, KPK berhak memanggil Anies. Ini sah dan legal. Dengan catatan, keterangan Anies memang diperlukan.
Rencana pemanggilan terhadap Anies, jika ini terjadi dan tidak ada bukti keterlibatan Anies, secara politik akan semakin menaikkan rating Gubernur DKI Jakarta ini. Dari kasus ini, popularitas Anies akan tambah melejit.
Kedua, Anies tipe pemimpin yang tidak reaktif ketika dikritik? Terhadap berbagai tuduhan dan caci maki, Anies diam. Prinsipnya: “Dicaci tidak tumbang, dipuji tidak terbang“. Ini seolah sudah menjadi mantra Anies menghadapi setiap serangan. Dan ternyata, ini mampu menghipnotis simpati publik. Sebab, Anies melakukannya secara wajar dan normal. Semua berjalan secara alami.
Kenapa tidak dilaporkan ke polisi? “Lapor melapor” nampaknya tidak menjadi opsi pilihan bagi Anies. Sikap pemimpin mesti seperti itu. Telinganya harus lebar, hatinya mesti lapang. Mampu menampung tidak saja pujian, tapi juga perbedaan dan bullyan.
Konsekuensi menjadi seorang pemimpin memang harus siap dikritisi, bahkan dicaci maki. Jika nggak siap, jangan jadi pemimpin. Kalau dikit-dikit lapor, rakyat akan takut bersikap kritis. Kalau sudah nggak ada yang bersikap kritis, ini akan menciptakan krisis demokrasi. Risiko yang lain, pemimpin akan kehilangan sparing partner. Dan ini nggak sehat untuk bangsa kedepan.
“Jangan dilaporkan, mereka sedang mencari makan”, sindir Anies. Halus, tapi jleb, mengena.
Seorang pemimpin bukan hanya dituntut kemampuannya untuk membangun infrastruktur, tetapi juga diharapkan mampu mewariskan mentalitas bernegara yang sehat. Dan mentalitas bernegara yang sehat ditandai diantaranya dengan adanya ceks and balances. Keterlibatan dan partisipasi rakyat harus diberi ruang. Tanpa partisipasi rakyat, demokrasi akan mati, sistem otoriter akan tegak berdiri, dan korupsi akhirnya merajai.
Orde Baru sukses memenuhi tuntutan yang pertama, tapi gagal membangun mental dan mewariskan sistem kerja yang sehat. Begitu juga para pemimpin di era Reformasi. Saat ini, jika indeks demokrasi kita terendah selama 14 tahun terakhir (6,3) dan rangking korupsi kita nomor 102 dari 180 negara, ini karena banyak Pemimpin kita yang lebih fokus pada infrastruktur, tapi abai terhadap pembangunan mental dan tidak mewariskan sistem kerja yang sehat.
Ketiga, Anies konsisten bekerja. Gubernur digaji untuk bekerja. Setiap pekerjaan akan diukur hasilnya. Terkait Anies, ada 23 janji. Perlu dilihat sama-sama apa sudah dituntaskan? Di masa Anies, apa yang sudah berubah dengan Jakarta? Pengelolaan anggaran, angka korupsi, tingkat kemacetan, penanganan banjir, polusi udara, kesejahteraan warga Jakarta, keamanan dan kenyamanan hidup di Jakarta. Semua faktor harus dilihat, diukur dan dinilai. Mesti obyektif!
Terutama soal mengatasi wabah pandemi COVID-19 yang melanda Jakarta saat ini. Anies dianggap paling siap dan sigap. Tracing paling cepat, vaksinasi terbanyak, tingkat kematian paling rendah dan COVID-19 di Jakarta duluan melandai. Meski demikian, tetap saja ada celah bagi sejumlah pihak untuk menyalahkan Anies. Bagi mereka, Anies harus tetap salah. Ini yang seru. Demokrasi jadi hidup.
Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Pepatah populer ini mengajarkan pada para Pemimpin untuk tetap fokus pada visi dan orientasi kerjanya. Kalau ini yang jadi prinsip dalam melangkah, semua energi Pemimpin akan lebih optimal hasilnya untuk bisa dinikmati oleh rakyat. Rakyat lebih tenang dan hidup semakin nyaman.
Asal bisa fokus pada pekerjaan, maka segala bentuk cacian dan bullyan hanya akan menjadi hiburan dan pengantar istirahat malam. Terus istiqamah Anies, Tuhan melihat kesabaran pemimpin, bukan keangkuhannya. (***)
(PENULIS adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, tinggal di Jakarta)