SEBAGAI LEMBAGA PUBLIK & KELOLA DANA MASYARAKAT, YAYASAN TAK BOLEH ABAIKAN BIKIN LAPORAN TAHUNAN

OLEH : AGUS SANTOSA

KRITIK dengan tujuan membangun itu sangat diperlukan. Apalagi diperkuat oleh data dan fakta. Karena apa? Dengan adanya kritik, justru personal (diri kita) – organisasi atau lembaga – bisa tahu akan sisi kekurangan dari apa yang sedang dilakukan maupun yang sudah ditempuh selama ini. Atau, munculnya kritik, boleh jadi karena ekspetasi pencapaian dari tujuan itu sendiri, masih jauh dari harapan banyak pihak.

Jika bisa menerima kritik secara terbuka, baik personal maupun lembaga atau organisasi, niscaya bisa mengukur diri. Sebatas apa kekurangan atau bahkan di balik itu barangkali ada sesuatu yang memang belum sesuai dengan komitmen awal. Makanya, jadikanlah kritik itu untuk memotivasi sekaligus menyiapkan jawaban lewat langkah kongkrit agar bisa lebih baik lagi nantinya atau di masa mendatang.

Karena itu pula, bedakan makna ‘kritik‘ dengan ‘mencela‘. Munculnya kritik lebih kepada mengedepankan akal sehat, karena ingin melihat sesuatu agar menjadi lebih baik lagi. Tentu berbeda, jika menyampaikan sebuah ‘celaan‘ atau sikap ‘mencela‘ yang biasanya didominasi atau didukung perasaan sakit hati atau bahkan like and dislike (atas dasar suka dan tidak suka). Jadi, biasanya sikap sering ‘mencela‘ itu, biasanya yang bersangkutan kerapkali dilandasi lantaran posisi atau kepentingannya merasa terganggu.

Dalam hal adanya atau munculnya kritik, saya mencoba masuk pada substansi keberadaan sebuah organisasi atau lembaga (Yayasan). Jika sudah pada kepentingan atau tujuan mengelola dana masyarakat, hal itu tak ubahnya sebagai sebuah lembaga publik. Jadi, bukan hanya (harus) memiliki perangkat pengurus sesuai kebutuhan organisasi. Tapi juga harus diback-up oleh hal yang paling urgent (penting), yakni adanya Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai landasan kerja di masing-masing bidang.

Rada aneh memang jika sebuah Yayasan hampir tidak pernah mensosialisasikan AD/ART kepada para ketua maupun seluruh pengurus yang ada dalam struktur. Dan, lucunya lagi seakan-akan cuma ‘gagah-gagahkan‘ saja, ada tercatat puluhan pengurus. Kemudian keberadaan Yayasan yang sudah berjalan dua sampai tiga tahun, tapi mereka para pengurus diajak rapat hanya sekali pertemuan saja, terkait job disk. Setelah itu, tak ada lagi rapat lanjutan atau diminta membuat program kerja untuk masing-masing bidang.

Akhirnya, apa yang terjadi? Hanya segelintir pengurus yang aktif. Yayasan sepertinya ingin dikuasai satu kelompok. Bahkan bekerja pun cuma atas dasar ego pribadi, merasa serba bisa dan mampu. Tapi herannya lagi justru sering menabrak-nabrak atau melangkahi bidang lain. Atau, tepatnya bisa dibilang apa yang dilakukan itu merupakam non prosedural.

Satu contoh misalnya ada wakil ketua bidang, kok bisa-bisanya main ‘selonong boy‘ ke Ketua Umum (Ketum). Sementara di situ ada Ketua Harian atau Wakil Ketua lain yang justru dilewati atau dilangkahi peranannya. Memakai cara non prosedural. Itu artinya yang bersangkutan tak paham berorganisi atau kurang mengerti fungsional yang diemban sesuai job disknya itu tadi.

Lebih aneh lagi manakala ada satu pengurus di organisasi atau lembaga (Yayasan), lebih menggembar-gemborkan tak perlu kebanyakan teori. Yang penting praktek. Padahal, teori-teori itu sendiri yang ingin dipakai dan dimusyawarahkan dalam forum rapat pengurus, justru bisa meminimalisir kesalahan-kesalahan yang bakal ditimbulkan. Termasuk menghindari fatalnya kesalahan administrasi (mall administrasi).

Sebab, job disk (job description) merupakan penjabaran kerja, jabatan, dan tanggungjawab dalam bekerja. Menurut Wikipedia, job description adalah sebuah pedoman yang dibikin perusahaan atau lembaga/organisasi untuk karyawan maupun pengurus agar dapat menjalankan tugas dan tanggungjawab sesuai dengan posisi yang sudah ditentukan.

Tentang Yayasan misalnya, karena mengelola dana publik, ya menjadi keharusan ada dibuatkan periodik laporan bulanan. Minimal laporan itu, bisa diakses dengan mudah oleh internal pengurus maupun warga (publik) yang telah memberikan kontribusi dana atau sumbangan. Azas transparasi (keterbukaan) jelas merupakan hal paling utama bagi berdirinya plus roda organisasi yang berbentuk Yayasan.

Lebih lagi jika sebulan sekali, organisasi/lembaga tersebut, menerima secara periodik masuknya dana masyarakat (publik). Meski cuma dalam hitungan satu atau lima jutaan rupiah dalam sebulan. Namun, setelah diakumulasikan setiap tahunnya, jumlahnya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Dan, itu harus dibuat laporan tahunan dan disampaikan dalam rapat pengurus internal Yayasan dan juga secara resmi diumumkan ke publik (masyarakat).

Ini masih terkait laporan tahunan. Berapa total masuknya dana kontribusi ke Yayasan dalam setahunnya? Kemudian, melalui laporan resmi ada penjabaran (detail) penggunaan atau penyerapan anggaran untuk alokasi apa saja? Masak bikin laporan tahunan saja tidak dilakukan! Juga menjadi kewajiban lembaga atau organisasi maupun Yayasan untuk merespon pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Jangan lantas diabaikan begitu saja. Karena apa? Hal itu dapat menimbulkan fitnah dan boleh jadi muncul ketidak-percayaan publik yang bisa berujung diajukannya mossi tidak percaya atau minta dibekukannya Yayasan.

Termasuk adanya struktur pengurus setingkat Ketua dan Anggota Pengawas, (misalkan ada dalam struktur di Yayasan), seharusnya paham dan tahu akan fungsionalnya. Tegur atau minta agar Bendahara (Yayasan) membuat laporan bulanan dan juga laporan tahunan.

Lagi, jika keberadaan Yayasan berada dalam lingkungan dibawah kelembagaan RW (misalnya), sampaikan laporan tahunan dalam rapat lintas lembaga. Itu wajib karena sebagai bentuk pertanggungjawaban administratif, apalagi selama ini Yayasan mendapat kontribusi dana secara periodik warga masyarakat (publik). Sedangkan keberadaan RT maupun RW itu sendiri merupakan referesentatif yang mewakili dari seluruh keberadaan warga yang ada dan perlu mendapat laporan resmi. Baik itu laporan bulanan atau laporan tahunan dari Yayasan.

Jangan sampai gagal paham. Sekali lagi bahwa muncul atau adanya kritik eksternal, justru sebagai bentuk kepedulian terhadap keberadaan organisasi atau lembaga (Yayasan). Ke depannya agar Yayasan tidak dikelola dengan aturan-aturan yang semaunya sendiri atau tidak berpatokan pada AD/ART yang dibuat serta telah disepakati bersama. Apalagi keberadaan Yayasan sudah berbadan hukum, tentu ada implikasi hukum jika sampai terjadi mall administrasi (***)

(PENULIS adalah Wartawan Ibukota dan Pernah Menjadi Ketua Panitia Pelaksana Pemilihan Ketua Yayasan Al-Ikhlas di RW 025 VGH Kebalen, Babelan, Bekasi)

Related posts

Rasanya Sulit Tembus 51 Persen, PILKADA JAKARTA 2024 Bakal Melalui Dua Putaran

Siapa Lebih Unggul di Pilkada Jakarta, DUEL STRATEGI Tim Sukses Prasetyo Edi Marsudi versus Ahmad Riza Patria

10 Tahun Era Jokowi, PERS NASIONAL Darurat Kelembagaan – Krisis Identitas & Expansi Bisnis Masif Kurang Etika