OLEH : KH. DZULFATAH YASIN M.AG
KECINTAAN kepada harta bagian fitrah yang ada dalam diri manusia. Apalagi harta itu hasil kerja keras bertahun-tahun. Ditambah ada keinginan atau angan-angan memiliki sesuatu yang dibutuhkan dan dibanggakan, maka kecintaan kepada harta tersebut menjadi semakin kuat. Akhirnya, menjangkitlah rasa bakhil atau pelit mengeluarkannya untuk membantu orang lain, mensedekahkannya dan lain sebagainya.
Diriwayatkan Abdulah bin Mas’ud radhiyalallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Muhammad shallalahu ‘alahi wasallam bersabda yang artinya : “Siapakah diantara kalian yang harta warisnya lebih ia cintai daripada hartanya sendiri? Mereka (para sahabat) menjawab : “Tidak ada diantara kami kecuali hartanya adalah apa yang telah ia infaqkan dan harta ahli warisnya adalah yang ia tinggalkan (tidak dinfaqkan)” (HR. Al-Bukhari).
Hadist ini menjelaskan bahwa harta milik seseorang yang sesunguhnya adalah harta yang disiapkannya untuk kehidupan sesudah kematiannya. Harta tersebut benar-benar akan membawa manfaat baginya. Bukan harta yang dia kumpulkan lalu dibagi-bagikan kepada ahli warisnya. Harta yang ditinggalkan seseorang, walau diatasnamakan kepada dirinya, ia akan berpindah kepada ahli warisnya laku diatasnamakan kepada mereka.
Pertanyaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya ini berlaku bagi kita juga. Yang jawabannya juga sama, setiap kita pasti lebih suka dengan harta kita sendiri. Namun tidak setiap kita tahu hakikat harta miliknya.
Harta kita yang sesungguhnya atau sebenarnya adalah yang kita simpan untuk akherat, sehingga kelak manfaatnya kembali kepada kita. Maksud harta yang akan menjadi milik kita adalah harta yang kita gunakan untuk kebaikan, mendekatkan diri kepada Allah SWT, membantu orang susah, mengobatkan orang miskin yang sakit, bersedekah, infaq dan semisal yang lainnya.
Kisah ini sempat viral diberbagai literasi media sosial (Medsos) dan pesan berantai WA (WhatsApp), sementara penelurusan atas penulis asli kisah ini tidak diketahui. Sedangkan yang menjadi kisah ini sangat inspiratif adalah betapa kedua tokoh ini sangat memahami arti dari nilai-nilai kebaikan kepada orang lain dan selalu menghadirkan Allah SWT dalam keputusan yang diambil.
Adalah suami sebelum pulang jam kantor menelpon istrinya. Ia bilang baru mendapatkan bonus akhir tahun dari perusahaan, dimana ia bekerja dan nilainya mencapai Rp 150 juta. Kemudian berencana untuk membeli sebuah mobil sederhana yang diimpikan sejak lama untuk keluarga kecil mereka.
Namun dalam perjalanan pulang, sang suami mendapat telepon dari ibunya yang membutuhkan dana Rp 50 juta untuk membayar utang almarhum ayahnya dan langsung mengiyakan untuk membayar hutang tersebit. Selanjutnya, selang beberapa lama seorang sahabat lama membutuhkan pertolongan. Butuh pinjaman untuk biaya operasi anaknya.
Meski sempat berpikir sejenak, uang Rp 100 juta yang tersisa, harus dipinjamkan kepada sahabatnya. Dari situ otomatis impian ingin memiliki mobil di tahun ini, gagal total. Tapi hati nuraninya mengetuk : “Berikan padanya. Mungkin kamu memang jalan Allah SWT untuk menolong sahabatmu itu. Mungkin ini memang rejekinya yang datang melalui perantara dirimu.” Ia pun menuruti panggilan nuraninya.
Setiba di rumah, ia mememui istrinya dengan wajah yang lesu. Sang istri pun bertanya : “Kenapa, Mas? Ada masalah? Nggak seperti biasanya, pulang kantor murung gini?”. Sang suami mengambil nafas panjang dan melanjutkan ucapannya : “Tadi, ibu dikampung telepon, butuh uang Rp 50 juta untuk bayar utang almarhum ayah. Nggak lama, sahabat Abang juga telepon, butuh pinjaman uang Rp 80 juta untuk biaya operasi anaknya. Jadi, kita hanya punya sisa uang Rp 20 juta dan batal untuk beli mobil.”
Sang istri pun tersenyum. “Aduh, Mas. Kirain ada masalah apaan? Mas, uang kita yang sebenarnya, bukan yang Rp 20 juta itu, tapi yang Rp 130 juta. Uang yang kita infaqkan kepada orangtua kita, juga yang kita pinjamkan kepada sahabat kita. Itulah sebenarnya harta kita yang sesungguhnya. Yang akan kita bawa menghadap Allah SWT. Yang tidak mungkin bisa hilang, jika kita ikhlas. Sedangkan yang Rp 20 juta masih belum jelas, apakah benar harta kita atau menjadi milik orang lain?” (***/EDITOR : GOES)
(PENULIS adalah KH. Dzulfatah Yasin M.Ag, penceramah dan pengisi program Hikmah sholat Jum’at di Masjid Istiqlal Jakarta)