30 C
Jakarta
13 October 2024 - 17:58
PosBeritaKota.com
Syiar

Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal, Menuju ‘Fana’ dan ‘Baqa’

OLEH : PROF. DR. KH. NASARUDDIN UMAR, MA

PUNCAK pencapaian para Salik ialah ‘Fana‘ dan ‘Baqa‘. Jika orang sudah sampai ke tingkat ‘Fana‘ kesadaran sensorial sudah hilang sama sekali. Ia seperti dalam keadaan ‘Mabuk Spiritual‘ (Mahwu). Ia sama sekali tidak menyadari keberadaan dirinya sebagaimana layaknya orang pingsan. Ia telah mengalami proses ‘Penghancuran‘ dan perasaan lenyapnya tersedot masuk ke dalam Diri Tuhan dan seringkali diiringi oleh suasana bathin yang disebut dengan ‘Baqa‘, yakni suasana keabadian bathin yang merasa terus hidup (Remain, Persevere).

Bagi orang yang sudah sampai ke tingkat ‘Fana‘ sering terucap kata-kata yang agak aneh (Syathahat), tidak umum didengar, seperti ungkapan Sufi berikut ini : “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur. Kemudian aku tahu pada-NYA melalui diri-NYA, maka aku pun hidup“.

Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada diri-NYA dan aku pun hidup. Aku berkata : “Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-MU adalah kelanjutan hidup.” Ungkapan-ungkapan seperti ini banyak ditemukan di dalam buku-buku Tasawuf.

Untuk sampai ke makam ‘Fana‘ memerlukan waktu dan perjuangan yang mungkin tidak singkat karena harus melewati terminal-terminal standar sebagaimana disebutkan di dalam makam-makam terdahulu. Para Salik juga betul-betul harus konsisten, seolah mewakafkan sepanjang hidupnya untuk menjadi Salik.

Tidak bisa mendaki ke puncak tertinggi ini jika tujuannya hanya ingin mencoba-coba saja. Namun, jika Tuhan menghendaki seseorang bisa saja sampai ke makam ini tanpa memerlukan perjalanan panjang. Makam ini sangat langka. Pada Salik umumnya memerlukan persiapan khusus dan keseriusan untuk bisa melanjutkan perjalanan ke puncak.

Tidak bisa hanya dengan motif ingin mencoba atau penasaran sehingga ia berusaha mencapai makam ini. Pada umumnya orang yang sampai ke makam ini justru tidak pernah membayangkannya. Keikhlasan dan ketulusan yang dijalankan dengan penuh istiqomah, itulah yang menjanjikan makam puncak seorang Salik.

Memang banyak jalan untuk mencapai puncak spiritual. Namun, semakin tinggi tingkat pencapaian semakin memerlukan pembimbing (Mursyid) yang tentu saja lebih tinggi pula, karena situasi di puncak banyak faktor pengecoh yang perlu diwaspadai. Tidak sedikit orang ke puncak, tetapi terpeleset ke jurang hingga hancur.

Ibarat mendaki gunung, harus menguasai ilmunya untuk sampai ke puncak. Kelihatannya mudah, gampang, tapi penuh dengan bahaya. Orang bisa jatuh pada kemusyrikan, bahkan kemurtadan. Terutama jika ia frustasi dan tidak sabar.

Seseorang harus banyak melakukan latihan (Riyadhah) terus-menerus. Salah satu Riyadhah rutin yang bagus dan selalu dilakukan oleh para Salik ialah shalat Tahajud dengan penuh kesungguhan mengesampingkan seluruh pikiran duniawi, lalu fokus dan pasrah total kepada Allah subhanahu wata’ala.

Makam ‘Baqa‘ lebih tinggi lagi dan sudah merupakan kelanjutan dara ‘Fana‘. Jika ‘Fana‘ seseorang sudah sampai ke puncak kesadaran sensorial sehingga ia sudah merasa hilang sama sekali. Ia seperti dalam keadaaan pingsan atau ‘Mabuk Spiritual‘ (Mahwu), maka ‘Baqa‘ akan muncul menjadi fenomena berikutnya jika ke-Fana-an itu sudah terkendalikan atau terkontrol (Sahwu).

Ada orang bisa menentukan kapan dan di mana ia melakukan suasana bathin ‘Fana‘ dan beberapa lama ia akan mengalaminya, ia sudah mampu mengontrolnya. Orang seperti ini sudah sampai ke tingkat ‘Baqa‘. Dengan kata lain, semua orang ‘Baqa‘ pasti ‘Fana‘, tetapi tidak semua orang ‘Fana‘ adalah ‘Baqa‘. Tentu saja suasana bathin ‘Baqa‘ lebih tinggi dari pada ‘Fana‘.

Fana‘ dan ‘Baqa‘ memiliki banyak persamaan, bahkan kedua istilah ini sering disamakan atau disebut ‘Baqa‘ adalah ‘Fana‘ tingkat tinggi. Yang jelas, keduanya memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu berada dalam keadaan ‘Mabuk Spiritual‘ (Sahwu). Keduanya telah mengalami proses ‘penghancuran’ dan perasaan lenyapnya diri tersedot masuk ke dalam Diri Tuhan. ‘Baqa‘ terlihat manakala frekuensi suasana keabadian bathin lebih sering dari biasanya.

Ibarat sebuah mata uang yang memiliki dua sisi ‘Fana‘ merasuk ke dalam diri seseorang dan ‘Baqa‘ berusaha mememanenkan pengalaman bathin tersebut. Dalam istilah Tasawuf dikatakan : Man faniya ‘an baqiya bi’ilmihi (Jika kejahilan hilang maka yang tinggal ialah pengetahuan. Man faniya ‘an al-aushaf al-madzumumah baqiya bi al-mahmudah (Barang siapa yang menghancurkan akhlak buruknya, yang tingggal ialah sifat baiknya). Lebih lanjut nanti akan tiba dalam suatu tahapan : Man faniya ‘an aushafih baqiya aushaf al-Haq (Barang siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka ia mempunyai sifat-sifat Tuhan).

Fana‘ dan ‘Baqa‘ termasuk lorong-lorong rahasia menuju Tuhan. Ekspresi dan pengalaman ‘Fana‘ dan ‘Baqa‘ tentu tidak identik satu sama lain, tapi secara prinsip memiliki kesamaan satu sama lain. Dalam dunia Tasawuf dikenal sejumlah tokoh dan spesifikasinya masing-masing.

Mereka masing-masing membuat istilahnya sendiri, tetapi maksud dan tujuannya tidak jauh beda dengan lainnya. Perbedaannya terletak pada penekanan dan praktik Riyadhahnya. Implementasinya nanti terlihat dalam dunia Tarekat, kelihatannya banyak aliran, tetapi satu sama lain mempunyai persamaan. Allahu a’lam. (***)

Related posts

Melibatkan Yayasan Pundi Amal SCTV, ERNA SANTOSO –  YAPENA INDONESIA Beri Santunan ke 1000 Anak Yatim & Kaum Disabilitas

Redaksi Posberitakota

Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, SHALAT Perspektif Syariah – Tarekat & Hakekat (1)

Redaksi Posberitakota

Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal, EPISTEMOLOGI MAKRIFAT (2)

Redaksi Posberitakota

Leave a Comment

Beranda
Terkini
Trending
Kontak
Tentang