Saat Khutbah Jum’at di Istiqlal, DR. KH. IMAM ADDARUQUTNI Bahas Pelestarian – Pemeliharaan serta Pengelolaan Lingkungan Hidup ala Rasulullah SAW

JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Saat mengisi khutbah Jum’at di Masjid Istiqlal, Dr. KH. Imam Addarutqutni MA selaku khotib membahas tema soal ‘Pelestarian, Pemeliharaan dan Pengelolaan Hidup ala Rasulullah SAW‘. Tak kurang dari puluhan ribu jamaah memadati masjid terbesar dan termegah di kawasan Asia Tenggara tersebut.

Pada awal pemaparan khutbah Jum’at 26 Shafar 1444 H/23 Septembere.2022 M, KH Imam Addarutqutni menyebut Surah Al-Baqarah ayat 208 yang artinya : “Wahai orang-orang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”

Menurutnya pada pokok kupasan dengan Pendekatan Sosiologi Kemasjidan, yaitu tinjauan praktek kehidupan jamaah ketika akan masuk masjid sampai keluar masjid model pendekatan bertingkat menurut Dr. Robert Frager, seorang mualaf yang menjadi alim.

“Dengan pendekatan ini dimaksudkan ayat di atas dapat diimplementasikan dalam kehidupan praktis sehari-hari. Termasuk konsep kelestarian lingkungan dengan pertama menunjuk di antara makna dalam ayat di atas yang diartikan sebagai bukan hanya berarti Agama Islam melainkan juga Kelestarian, Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan dalam artian luas, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW,” paparnya.

Masih terkait dengan hal di atas, sebut KH. Imam Addaruqutni, ada empat model yang ditawarkan yang ditawarkan untuk terwujudnya lingkungan hidup lestari, terpelihara dan terkelola dengan baik yang secara simbolik tercermin dalam empat tahapan.

Tahap pertama adalah lepas sendal/sepatu jelang masuk masjid dengan state of conscience : this mine and that is yours yang secara intrisik menyemai aqshad maqashid al-Syari’ah mulai dari tertib sosial, tertib hukum dan terjaminnya kelestarian lingkungan. Karena itu, fenomena praktik Islami pertama ini untuk memudahkan ingatan, diistilahkan dengan Islam Syari’ah/Islam Syari’iy.

Tahap kedua adalah ketika memasuki serambi masjid, sebelum masuk masjid, kebiasaan masyarakat (jamaah) duduk bersama bahkan makan-minum bersama seperti satu keluarga. Ini dahulu menjadi kebiasaan kaum mutashawwifin. Jika Islam Syar’iy menyemangati tertib sosial dan hukum, maka yang kedua ini untuk memudahkan, disebut Islam Thariqat yang state of conscience-nya, your is mine and mine is yours dalam koridor syari’ah. Semangat yang terbangun.

Tahap ketiga adalah saat memasuki masjid, dimana tak satupun memerlukan izin atau tidak perlu meminta izin ke siapa pun. State of Conscience tahap ketiga ini dalam hati setiap pribadi harus ada kesadaran hakiki sehingga State of Conscience-nya : no mine no yours yang berarti tidak ada milikku-tidak ada milikku. Ini untuk memudahkan disebut saja sebagai : Islam Hakekat. Dengan ini maka semua bertanggungjawab atas semua dan kesadaran ini mampu melahirkan terkelolanya alam dengan baik.

Tahap keempat yaitu manakala seseorang melaksanakan shalat dalam masjid. Berbeda dengan pertama, kedua dan ketiga – maka State of Stience-nya adalah : no you – no me, karena ketika shalat itu setiap diri harus mencapai fana‘ suatu kesadaran yang hanya mengakui wujud Allah dan Allah. Ini untuk memudahkan, disebut Islam Ma’rifat. Jika kesadaran ini dapat dicapai, maka insya Allah ketika shalatnya bukan hanya sah, tetapi juga khusu‘ dan diterima oleh Allah SWT.

Dengan kesadaran Islam Ma’rifah ini jika terkait keberadaan kehidupan lingkungan, maka pastilah akan terwujud lingkungan yang memberi kehidupan dan terus membawa barakah baik di langit, bumi serta di antara keduanya. Dan, ini mendekatkan pemahaman, maka kita kita setiap kali harus memuji dengan mengucap : Alhamdulillahi Rabb al-‘Alamin (Segala puji bagi Allah yang melestarikan alam semesta).

Pada bagian akhir, KH. Imam Addaruqutni menyimpulkan bahwa selesai menunaikan shalat, maka ketika keluar dari masjid, setiap diri, setiap pribadi harus kembali ke tahap awal lagi. Yaitu ke tempat di mana sandal atau sepatunya diletakkan. Jangankan Ma’rifat, Hakekat pun harus ditempatkan dipahami dan diamalkan secara benar, begitu juga Islam Thariqat. Maka saat kembali ke sandalnya, seseorang tadi kembali ke kehidupan dengan terus menjaga ketertiban sosial.

“Dia harus mengambil sandalnya sendiri, bukan milik orang lain. Dan, inilah yang kemudian teraplikasinya Maqashid Al-Syari’ah yang menjamin kelestarian lingkungan dan pengelolaannya. Sekali seseorang membuat keteledoran, misalnya dengan mengambil bukan miliknya, maka satu kasus teledor ini akan mengakibatkan banyak kekacauan,” ucap Dr. KH. Imam Addaruqutni MA, mengakhiri khutbahnya. ■ RED/AGUS SANTOSA

Related posts

Program ‘Hikmah’ di Masjid Istiqlal Jakarta, MERAMU IKHLAS dari Wafatnya Orang yang Terkasih

Kajian Jumat Pilihan di Masjid Istiqlal Jakarta, AKHLAK Terhadap yang Lemah & Susah

Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, MAKNA ESOTERIS Kumandang Adzan