JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Selaku khotib dalam pelaksanaan sholat Jum’at di Masjid Istiqlal Jakarta, 9 Rabiul Akhir 1444 H/4 Nopember 2022 M, KH Abu Hurairah Abd Salam L.c MA, menyampaikan khutbah yang mengangkat salah satu wasiat Allah subhanahu wata’ala yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 153 dengan uraian sebagai berikut.
Disebutkan bahwa Islam yang kita yakini adalah merupakan jalan Allah SWT yang lurus (Shiratal Mustaqim), kemudian kita diperintahkan untuk istiqomah menempuh jalan lurus itu. Lalu, Allah SWT melarang kita menempuh jalan-jalan kesesatan. Yaitu jalan yang menyebabkan kita bercerai berai. Jalan yang menghancurkan persatuan kita. Bahkan, jalan itu bisa menyebabkan timbulnya fitnah di antara kita. Semoga wasiat Allah SWT dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada-NYA.
“Mudah-mudahan di Masjid Istiqlal ini dan tentu di masjid-masjid lainnya dapat menjadi alat pemersatu umat, pemersatu bangsa. Memberi ketenangan dan kesejukan kepada setiap jamaah dan warga masyarakat. Begitu masuk ke masjid diharapkan kita utuh kembali menjadi satu umat, satu bangsa, tidak ada perbedaan dan tidak ada konflik,” harap KH Abu Hurairah melanjutkan khutbahnya.
Digambarkan bahwa pada masa Rasulullah SAW, sesungguhnya di antara para sahabat, sudah ada perbedaan pendapat. Bilal bin Rabah sebagai muadzin Rasulullah dan juga Sayyidatuna Aisyah Ummul Mu’minin dalam memahami agama, cenderung dengan pemahaman yang kontekstual. Sementara sahabat lainnya, seperti Abdullah bin Umar dan Anas bin Malik, jika memahami apa yang bersumber dari Rasululah SAW cenderung tekstual.
“Kenapa terjadi perbedaan pemahaman yang menyebabkan perbedaan pendapat di antara para sahabat? Sementara kita tahu bahwa mereka itu, setiap saat bersama Rasulullah SAW. Nabi hanya satu, Qur’annya juga hanya satu, agamanya pun satu. Di dalam Islam ternyata perbedaan pendapat adalah keniscayaan atau sunnatullah dari dulu sampai sekarang. Ada ragam pendapat dalam Islam sehingga perlu kedewasaan berpikir dan bijak dalam melihat varian pendapat ulama,” kata, panjang lebar.
Namun, lanjut KH Abu Harairah dalam khutbahnya, sebagian kita tidak siap menerima perbedaan pendapat tersebut. Mereka menganggap apa yang dipikirkan dan dipelajarinya adalah kebenaran final. Sehingga tidak ada lagi ruang dialog dan diskusi, akibatnya orang yang berbeda pendapat dianggap sebagai lawan dan musuh.
“Pertanyaannya, apakah berbeda pendapat itu dibenarkan dalam Islam? Apabila kita mengkaji lebih dalam ajaran Islam, maka kita akan dapati masalah yang fundamental, dimana pada wilayah itu, kita tidak diperbolehkan untuk berbeda. Namun tidak semua ajaran Islam itu sifatnya fundamental. Ada banyak bagian-bagian dalam agama itu, sifatnya tambahan atau yang biasa diistilahkan dengan furuiyyah,” paparnya, lagi.
Menurutnya lagi kalau sudah masuk wilayah furuiyyah, di situlah kita diperbolehkan berbeda. Dalam bidang ‘Aqidah‘ misalnya, di sana terdapat masalah yang sifatnya ushul (fundamental) dan juga ada masalah yang sifatnya furu’. Begitu pula dalam bidang ‘ibadah‘, ada masalah yang sifatnya ushul, tapi juga ada masalah yang sifanya furu‘.
Keyakinan kita bahwa : “Tidak ada Tuhan selain Allah” ini adalah masalah ushul/fundamental, dimana kita tidak boleh untuk beda pendapat, tapi kemudian nanti ada tema pembahasan tentang Allah SWT itu yang berada pada wilayah yang sifatnya furu’, dimana kita boleh saja berbeda pendapat. Seperti dalam memahami ayat yang mengungkapkan tentang dzat Allah SWT, bahkan dalam ayat 225 surat Al-Baqarah yang biasa kita sebut dengan ayat kursi.
“Apa yang dimaksud dengan kursi pada ayat ini? Apa benar-benar kursi, sebagaimana kita mengenal konsep kursi? Atau, kursi di situ maksudnya adalah kekuasaan Allah SWT,” urai KH Abu Hurairah.
Dalam menafsirkan ayat tersebut, lanjut khutbahnya, ada orang atau kelompok yang memaknai kursi ya kursi. Tidak boleh ditafsirkan menjadi kekuasaan. Kelompok itu memahami dan memaknai ayat atau hadist kalau istilah sekarang, cenderung dengan pemahaman yang tekstual. Adapun yang menafsirkan kursi pada ayat ini dengan kekuasaan, maka mereka dalam memahami hadist atau ayat itu cenderung kontekstual.
“Dan, jangan lupa bahwa dalam memahami Al-Qur’an, membuka ruang adanya perbedaan, seperti juga memahami hadist. Jadi, prinsip kembali ke Al-Qur’an dan hadist, bukan berarti pemahaman, pemikiran akan selalu sama dan satu, tentu tidak. Hal seperti inilah yang kadang kita lupa, meski dalam ayat yang sama, hukum yang dihasilkan itu bisa berbeda. Bahkan pada ayat yang sama, cara bacanya bisa beda. Cara bacanya bisa dua, tiga atau bahkan tujuh sekaligus,” ungkapnya, lagi.
KH Abu Hurairah menyebutkan bahwa Al-Quran ini diturunkan dengan tujuh huruf. Kadang perbedaan cara baca menimbulkan perbedaan makna. “Suatu ketika Rasulullah SAW memerintahkan sahabatnya berangkat ke perkampungan Bani Quraidzh, lalu para sahabat berkata : ” Yaa, Rasulullah, sebentar lagi masuk waktu Ashar. Lebih baik kita shalat Ashar dulu, setelah itu kita berangkat.” Tapi, kata Rasulullah SAW : “Tidak, kalian berangkat sekarang juga.”
Pada intinya, Rasulullah SAW menekankan : Kalian tidak boleh ada yang sholat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidzah. Dalam perjalanan, tidak ada yang berani, namun setelah matahari hampir terbenam dan mereka pun belum sampai perkampungan Bani Quraidzah, muncul perbedaan pendapat di antara para sahabat. Mereka terpecah menjadi dua kelompok.
Untuk kelompok pertama mengatakan : Tadi waktu di Madinah, kita tunda sholat Ashar, karena waktunya sangat luas. Sekarang waktunya sudah habis, sebaiknya kita berhenti sholat dulu. Setelah itu kita teruskan perjalanan. Alasannya bahwa sholat Ashar itu fardhu ain, kalau kita tinggalkan berdosa dan apa sih susahnya sholat dulu, kemudian melanjutkan perjalanan.
Sedangkan untuk kelompok kedua, mengatakan : Tidak bisa, kata Rasulullah SAW. Ini berarti walaupun sudah masuk waktu Maghrib, waktu Isya sekalipun, kita tidak boleh sholat Ashar. Sholat nanti kita ganti ketika sudah sampai di perkampungan Bani Quraidzah. Sebab, begitulah bunyi perintah dan ketentuan dari Rasulullah SAW.
Setelah kedua kelompok berbeda itu kembali bertemu, Rasulullah SAW barulah memberikan pemahaman, kalau kedua kelompok tersebut tidak ada yang salah. Tetap dibenarkan oleh Rasulullah SAW. “Inilah yang perlu kita pahami., karena umat Islam kadang tidak tahu siapa saudara, siapa kawan dan siapa lawan. Akhirnya yang seharusnya dijadikan saudara, malah dijadikan lawan,” ucapnya.
Sebagai penutup khutbahnya, KH Abu Hurairah menyampaikan bahwa saudara kita adalah siapa saja yang bertauhid, berkeyakinan dan beraqidah tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul Allah. Apapun kelompoknya, dia adalah saudara kita, meskipun kita berbeda
“Seorang Muslim seharusnya bisa menahan diri. Tidak mengeluarkan kata atau kalimat yang menyakiti hati orang lain. Hakekatnya, Islam itu adalah penyelamatan, kedamaian dan keamanan. Jangan karena ada perbedaan kemudian menjadi konflik, dimana agama diperalat sebagai senjata politik untuk memperebutkan kekuasaan. Sebab, perbedaan itu sudah ada di masa Nabi. Dan, oleh Nabi dibiarkan serta diakui sebagai kebenaran juga. Maka, perbedaan pendapat itu sifatnya furuiyah. Kebenaran itu bisa dua atau tiga sekaligus. Berbeda tapi semuanya benar,” katanya, mengakhiri. ■ RED/AGUS SANTOSA