OLEH : PROF.DR. KH. NASARUDDIN UMAR, MA
DI DALAM perspektif tasawuf, hubungan primer Allah dan makhluknya terjalin bagaikan langit dan bumi, jiwa dan roh. Juga dalam kajian tasawuf, tidak ada artinya berbicara tentang apapun, tanpa berbicara tentang Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan disebut kosmos, termasuk di dalamnya alam (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos).
Tuhan adalah asal usul dari segala sesuatu. Semua bersumber dari-NYA dan kelak semuanya akan kembali kepada-NYA, innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Kita berasal dari Yang Satu kemudian menjadi banyak dan kembali ke Yang Satu. Dengan demikian yang banyak ini sesungguhnya siapa?
Secara matematika juga menunjukkan bahwa sebanyak apapun sebuah bilangan pasti berasal dari angka 1. Bukankan angka 2 berasal dari angka 1? Dan, seterusnya. Memang, angka 1 tidak sama dengan 2,1.000 dan seterusnya, tetapi bukankah angka-angka itu tetap merupakan himpunan dari angka 1.
Jadi, tidak ada artinya kita berbicara angka sebanyak apapun tanpa berbicara tentang angka 1, karena bukankah angka yang banyak itu tetap merupakan himpunan dari angka 1?
Keterpisahan dan sekaligus ketakterpisahkan antara Tuhan dan hamba melahirkan wacana tersendiri di dalam teologi dan tasawuf. Para teolog atau ulama kalam lebih menekankan aspek keterpisahan dan ketakterbandingan antara Tuhan dan hamba.
Sedangkan kalangan sufi lebih menekankan aspek ketakterpisahan dan keserupaan antara Tuhan dan hamba, meskipun dibatasi dengan istilah ‘keserupaan dalam ketakterbandingan‘ (similarity in uncomparability).
Allah subhanahu wata’ala dalam kapasitas Ahadiyat-NYA, tentu saja tak terbandingkan dan teepisah dengan makhluk–NYA. Dia “yang tidak ada satupun setara dengannya”. Namun, dalam kapasitas Wahidiyat-NYA yang di dalamnya diperkenalkan nama-nama-NYA dan hamba. Hubungan antara Tuhan dan hamba tersebut melahirkan konsep Tuhan (Rab) dan hamba (marbub), Ilah dan ma’luh, Khalik dan makhluk.
Dalam konteks ini seolah-olah kalangan sufi – dan ini yang banyak ditentang oleh para teolog – beranggapan Tuhan butuh terhadap makhluk karena eksistensi sebuah kata meniscayakan sebuah kata lainnya. Bukankah tidak akan ada budak tanpa ada tuan, tidak ada Rab tanpa marbub, tidak ada Ilah tanpa ma’luh, tidak ada makhluk tanpa Khalik dan tidak ada ma’lum (objek pengetahuan) tanpa ‘Alim (subjek yang mengetahui).
Tentu saja, demikian pula sebaliknya. Sulit membayangkan adanya tuan tanpa ada budak, ada marbub tanpa ada Rab, adanya Khalik tanpa ada makhluk, dan adanya ‘Alim tanpa ada ma’lum. Alasan para sufi berpendapat demikian, karena bukankah nama-nama dan sifat Tuhan memerlukan adanya berbagai fokus atau tempat memanifestasikan dan mengaktualisasi diri? (***/goes)