OLEH : PROF. DR. KH. NASARUDIN UMAR, MA
MASJID dari akar kata ‘sajadayasjudu‘ berarti sujud, lalu membentuk kata ‘masjid‘ yang berarti tempat sujud. Segala sesuatu yang ditempati sujud untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala dapat disebut masjid.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan, al-ardhu masjid (bumi adalah masjid). Dengan demikian, bumi ini bersih dan dapat digunakan untuk bersujud. Seorang petani shalat dan sujud di atas pematang sawah, nelayan di atas pasir pantai, tukan kebun di atas batu menghadap kiblat, sama dengan orang yang sujud di atas sajadah di rumah atau di masjid.
Masjid dalam perspektif Al-Qur’an tidak selamanya berarti bangunan khusus untuk beribadah bagi umat Islam. Peristiwa Isra Mi’raj yang melibatkan dua kata masjid, sebagaimana disebutkan di dalam QS. al-Isra’ ( 17): 1, yaitu Masjid al-Haram di Mekkah dan Masjid al-Aqsha di Palestina, belum memiliki bangunan khusus seperti sekarang.
Masjid al-Haram lebih merupakan pelataran Ka’bah dan Masjid al-Asqha adalah sebongkah batu besar yang biasa disebut ‘batu gunung’ karena dimitoskan batu itu ingin menyertai Nabi Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha. Kini, batu besar itu berada di dalam bangunan masjid di kompleks al-Asqha.
Badan sebagai ‘bait Allah‘ baca : Baitulah) merupakan nama lain dari Ka’bah atau kiblat umat Islam di dalam melaksanakan sejumlah ibadah mahdhah, seperti shalat. Ka’bah juga sekaligus sebagai objek tawajjuh, sebagaimana selalu kita ikrarkan di dalam doa iffitah, “Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamari Rabbil ‘alamin’ (Sesungguhnya shalatku, urusanku dan hidupku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam)”.
Badan manusia dianggap sebagai Baitullah atau Ka’bah secara maknawi, dianalogikan dengan ‘Arasy, yaitu singgasana Tuhan, Baitul Ma’mur yang dibangun para malaikat untuk Adam dan istrinya setelah melanggar larangan Tuhan di surga.
Badan sebagai pakaian, tempat tinggal dan masjid apalagi dianalogikan sebagai Baitullah atau Ka’bah, sudah barang tentu harus bersih dari noda dan dosa. Pembersihan badan bukan hanya membersihkannya dari kotoran fisik dengan cara berwudhu, tayamun atau mandi dengan menggunakan air, sabun atau sampo – tapi juga harus dipelihara kebersihannya dari noda, seperti juga terhadap dosa dan kemaksiatan.
Kalangan ulama tarekat mendasarkan pendapatnya dengan mengutif Al-Quran, “Wa tsiyabaka fathahhir, wa al-rujzah fahjur (Bersihkan pakaianmu. Tinggalkanlah perbuatan dosa).” (QS. al-Muddatsir (74): 3-4).
Yang dimaksud dengan pakaian di sini bukan hanya baju yang menempel di badan, tetapi badan yang merupakan pakaian atau selimut dimensi batin. Cara pembersihannya tentu bukan hanya membersihkan kotoran fisik, tetapi juga dengan kotoran nonfisik. Kotoran nonfisik, seperti dosa-dosa kemusyrikan. (***/goes)