Entah Halal atau Haram, KEBIASAN FLEXING Pejabat Publik Suka Pamer Kekayaan

OLEH : ANDRE VINCENT WENAS

KATANYA flexing adalah istilah yang direkatkan pada seseorang yang sering pamer kekayaan. Terutama dengan adanya media sosial (Medsos), fenomena flexing makin marak.

Lha tinggal ambil foto, edit sedikit, kalau perlu dengan efek tertentu – maka tampilah pencitraan. Seperti mobil sultan, segepok uang, pakaian mahal, jet pribadi, liburan ke luar negeri hingga tas mewah.

Belakangan malah muncul istilah sultan dan crazy rich. Soal halal atau haram itu diluar topik.

Flexing atau pamer dilakukan demi beragam tujuan, di antaranya menunjukkan status dan posisi sosial. Demi menciptakan kesan tertentu, membangkitkan rasa kagum.

Secara sederhana bisa diartikan sebagai pamer. Orang suka pamer ini sebetulnya punya inferioritycomplex, jadi semacam insecurity, merasa dirinya kurang. Jadi, butuh memamerkan sesuatu lewat pencitraan, sebagai kompensasi. Tapi, sayangnya itu semua hanya fatamorgana.

Pasalnya, kalau yang dipamerkan itu adalah hasil pencapaian diri, maka merupakan hal yang wajar. Tapi kalau flexing itu untuk menutupi kekurangan dirinya (semacam topeng), maka pada dasarnya tidaklah mengatasi akar persoalan. Cuma sekedar kamuflase dari rasa tidak aman diri, insecurity.

Repotnya memang kalau pegawai negeri atau abdi negara yang melakukan flexing. Suka pamer. Semestinya, sedari awal mereka sudah sadar diri. Bahwa gaji mereka itu dari pajak yang dipungut dari rakyat. Maka, wajar kalau rakyat mengkritisinya terus.

Dari Direktorat Jenderal Pajak, sekarang merembet terus ke Ditjen Bea & Cukai. Gegara (gara-gara) pejabatnya (Kepala Bea dan Cukai) yang di Yogyakarta gemar pamer kekayaan.

Entah apa isi kepala dan hati nuraninya. Masak sih setingkat itu tidak tahu etikanya. Kecuali mungkin dia meniru perilaku atasan-atasannya di Jakarta (kantor pusat). Memang Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai adalah 2 instansi yang tunjangannya relatif sangat tinggi.

Baru-baru ini punm, para warganet mengkuliti gaya hidup mewah yang dilakukan Kepala Bea dan Cukai Yogyakarta bernama Eko Darmanto.

Misalnya yang di akun Instagramnya, dipantau Eko kerap mengunggah foto dengan latar belakang mobil mewah, motor gede dan pesawat terbang Cesna. Lerrrr….!!!

Tapi sekarang dikabarkan akun Instagram milik Eko itu sudah menghilang. Namun, namun warganet sempat membuat tangkapan layar sejumlah unggahannya.

Akibatnya, nama Eko Darmanto jadi trending di Twitter dengan tagar #BeaCukaiHedon. Kabarnya, Eko sudah dipanggil kantor pusat Jakarta untuk klarifikasi.

Kalau kita merujuk pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dipublikasikan di laman resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Eko Darmanto disebut memiliki harta kekayaan sebesar Rp 6,7 miliar.

Rinciannya, ia memiliki 9 mobil dengan nilai taksiran Rp 2,9 miliar. Salah satu yang paling mewah adalah mobil BMW tahun 2018 senilai Rp 850 juta dan mobil Mercy senilai Rp 600 juta. Ada juga Ford Bronco klasik tahun 1972 (dibeli bekas seharga Rp 150 juta).

Sejumlah aset properti misalnya di Jakarta Utara, Eko mempunyai tanah seluas 327 meter persergi dengan nilai taksiran Rp 10 miliar. Kapling tanah di Malang seluas 240 meter persegi dengan nilai Rp 2,5 miliar.

Jadi, total aset tanah dan bangunan milik Eko Darmanto adalah Rp 12,5 miliar. Kekayaan lainnya berupa harta bergerak lainnya senilai Rp 100,7 juta serta kas dan setara kas Rp 238,9 juta.

Total harta yang dilaporkan sebesar Rp 15,73 miliar. Namun ada utang sebesar Rp 9 miliar, sehingga kekayaan bersihnya sesuai laporan LHKPN yakni Rp 6,72 miliar.

Namun kita tahu bahwa LHKPN tidak menggambarkan nilai kekayaan riil atau harta sebenarnya dari pelapor. Sebab, dalam beberapa kasus sebagian harta tidak dilaporkan, atau juga bisa diatasnamakan orang lain.

Akhirnya, kebiasaan pamer kekayaan para pejabat negara dan anggota keluarganya perlu kita kritisi terus. Penggunaan pajak rakyat memang mesti transparan. Karenanya aparat ya mesti tahu diri, dan jangan korupsi. Rakyat sudah muak! (***/goes)

(PENULIS : Andre Vincent Wenas MM MBA adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), tinggal di Jakarta)

Related posts

Rasanya Sulit Tembus 51 Persen, PILKADA JAKARTA 2024 Bakal Melalui Dua Putaran

Siapa Lebih Unggul di Pilkada Jakarta, DUEL STRATEGI Tim Sukses Prasetyo Edi Marsudi versus Ahmad Riza Patria

10 Tahun Era Jokowi, PERS NASIONAL Darurat Kelembagaan – Krisis Identitas & Expansi Bisnis Masif Kurang Etika