JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Lantaran mereka tahu pasar terhadap harga bisa dijual jauh lebih mahal, saat ini mulai banyak penyeludupan beras dari beberapa negara lain yang masuk ke Indonesia. Bahkan upaya penyelundupan tergolong sering dan sudah terjadi di mana-mana.
Hal tersebut di atas diungkapkan Kepala Bulog (Kabulog), Budi Waseso saat menjadi narasumber Seminar Nasional dengan tema ‘Pembenahan Kebijakan Pangan Menuju Indonesia Emas’ di The Sultan Hotel Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Dalam Seminar Nasional yang diadakan oleh Nagara Institute, hadir sejumlah pembicara lain. Mereka antara lain Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang juga Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko, Menteri Perdagangan Zulkufli Hasan serta Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi. Sedangkan Seminar Nasional itu sendiri, dipandu oleh Direktur Eksekutif Nagara Institute, Akbar Faizal.
Menurut mantan Kabareskrim Polri yang akrab dipanggilan nama Buwas (Budi Waseso) tersebut, penyelundupan terjadi karena harga beras di pasar Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan negara – negara penghasil beras, seperti Vietnam dan Thailand.
“Saya tahu mulai marak penyelundupan beras masuk Indonesia. Kenapa? Karena, di sini
harganya bisa jauh lebih mahal. Bahkan, hari ini penyelundupan tersebut terjadi, di mana dan diangkut dengan kapal apa? Saya tahu informasinya, tapi itu bukan wewenang saya. Biar ditangani aparat yang berwenang,” tegasnya.
Dijelaskan Buwas panjang lebar bahwa harga beras di pasar dalam negeri memang jauh lebih mahal, jika dibandingkan dengan negara. negara lain penghasil beras, seperti di Jepang, Vietnam dan Thailand.
Malah dia memberi contoh kalau baru-baru ini Bulog melakukan impor beras dari Jepang. “Harganya. Rp 9000 per kilogram sudah sampai gudang Bulog. Sementara kalau beras produksi sendiri, di pasar domestik harganya bisa Rp 13.000 – Rp 14.000. Jauh sekali bedanya,” ungkapnya.
Disparitas harga itulah, menurut Buwas, justru dimanfaatkan oleh oknum – oknum tertentu menyelundupkan beras dari luar untuk dipasarkan di dalam negeri dengan memanfaatkan situasi. Hal ini terjadi karena harga produk pangan Indonesia memang lebih mahal. Juga tidak efisien di proses produksi.
“Jadi, ini masalah-masalah yang kita hadapi sekarang. Kalau harga di kita lebih tinggi, nanti ada intervensi dari negara lain yang ingin jual di kita, karena lebih mahal,” terang Buwas.
Mahalnya harga pangan di Indonesia, juga diakui Ketua Umum HKTI (Himpuna Kerukunan Tani Indonesia) Moeldoko. Sebab, menurutnya, biaya produksi per 1 kg gabah di Indonesia mencapai Rp 290.000. Sementara di Vietnam hanya Rp 1.700. “Kita memang tak efisien dan arena biaya produksi pertanian mahal sehingga harga pangan juga mahal,” katanya.
Pada bagian lain, Moeldoko juga mengakui memang banyak masalah di sektor pangan di dalam negeri. Yang pertama masalah lahan. Sudah makin sempit dan kondisinya pun rusak. Sedangkan yang kedua, masalah akses permodalan. Meskipun KUR yang disiapkan Pemerintah cukup tinggi, dari Rp 50 triliun menjadi Rp 70 triliun. Lalu, petani tetap sulit mengakses bank karena dianggap tidak bankable.
“Untuk yang ketiga, aitu masalah teknologi. Kalau pun ada teknologi baru, tak sertamerta petani mau merima. Para petani juga kurang mengetahui masalah manajemen,” bebernya.
Karena itu sebagai salah satu solusinya, diungkapkan Moeldoko, kapasitas produksi harus ditingkatkan melalui intensifikasi yang didukung ekstensifikasi. Dalam hitungannya, jika per hektare lahan hanya menghasilkan 5-6 ton, sedangkan di negara lain bisa
menghasilkan 9-10 ton, berarti terjadi inefisiensi.
“Apabila produksi kita optimum bisa mencapai 9 ton per hektare, berarti bisa efisien sehingga harga pangan menjadi murah,” tandas Moeldoko seraya memberikan usulan perlunya dibentuk korporasi petani yang melibatkan petani dalam proses produksi hingga memasarkan produknya. Dengan begitu, posisi petani menjadi lebih kuat.
Sedangkan Menteri Perdagangan Zulkfli Hasan, memaparkan bahwa dirinya cukup optimis masalah sistem tata kelola bisa segera teratasi dengan adanya Badan Pangan Nasional. “Asal masalah pangan dibawah satu komando, saya yakin lima tahun ke depan, kita bisa memperbaiki masalah pangan nasional,” ucapnya.
Zulkfli berupa mendorong penguatan peran Badan Pangan Nasional, salah satunya melalui penguatan anggaran. “Sudah 70 tahun merdeka, sudah saatnya kita
swasembada pangan. Kalau masalah pangan dalam satu komando, saya yakin pasti kita bisa,” tandasnya.
Sementara itu Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, menegaskan upaya lembaga yang dipimpinnya terus melakukan berbagai upaya dan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait untuk memperbaiki masalah kebijakan pangan.
“Masalah data pangan, misalnya, kami sudah selesai menghitung neracanya dan itu transparan. Produksi dalam negeri, kita sudah transparan. Jadi, produksinya berapa dan kebutuhannya berapa, sudah diketahui. Dan, itu akan kita jadikan dasar untuk mengambil keputusan nantinya,” kata Arief, mengakhiri. ■ RED/AGUS SANTOSA.