OLEH : USTADZ SHAMSI ALI
SEKEMBALI dari Umrah minggu kemarin saya melanjutkan perjalanan ke kota kelahiran saya, Makassar, untuk beberapa acara. Satu di antaranya adalah tradisi menyampaikan khutbah di Al-Markaz Al-Islam, Masjid terbesar nan indah di Indonesia bagian Timur. Kegiatan ini seolah telah menjadi sebuah keharusan jika ada waktu kembali kampung.
Dalam khutbah itu ada dua hal yang saya anggap kontekstual untuk disampaikan. Keduanya saya kaitkan dalam satu tema pembahasan “Isra’ Mi’raj dan Kepemimpinan dalam Islam”. Tentu karena kita memang sedang berada di hari-hari dikenangnya peristiwa Isra’ Mi’raj. Tapi juga karena dalam beberapa hari ke depan bangsa Indonesia akan melangsungkan pesta demokrasi lima tahunan. Bagi saya khutbah menjadi kesempatan yang baik untuk melakukan edukasi tentang keduanya.
Dalam beberapa waktu terakhir memang saya seringkali berbicara tentang kepemimpinan. Sehingga ketika berbicara tentang Isra’ Mi’raj sekalipun saya mencoba menemukan relevansinya dengan kepemimpinan itu. Sampai-sampai ada yang bertanya ke saya: “Ustadz kok Isra’ Mi’raj pun harus dikaitkan dengan pemimpin?”. Saya respon: “Saya ketika menyampaikan khutbah atau ceramah tidak ingin yang out of context. Bukankah sekarang konteksnya kita mencari pemimpin yang ideal untuk Indonesia?”
Dalam kaitannya ini saya menilai bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj mengandung makna relevan, salah satunya dengan misi kepemimpinan Rasulullah SAW. Apalagi kita mengenal dari sejarah bahwa Ketika Rasulullah SAW tiba di Masjidil Aqsa beliau kemudian menjadi Imam bagi para Nabi dan Rasul. “Keimanan” (kepemimpinan) Muhammad ini menjadi satu indikasi kuat bahwa perjalanan itu memang mengajarkan makna Kepemimpinan yang penting.
Beberapa pelajaran penting kepemimpinan dari peristiwa Isra Mi’raj itu dapat kita simpulkan sebagai berikut:
Satu, bahwa untuk sampai kepada posisi kepemimpinan diperlukan proses-proses panjang dan penempaan yang serius. Itulah Isra’ Mi’raj yang terjadi di saat-saat Rasulullah berada pada puncak tantangan hidup dan rintangan perjuangannya. Pemboikotan kepada Bani Hasyim dan wafatnya isteri dan paman tercinta beliau menjadikan tahun itu begitu berat. Beliaupun menyebutnya sebagai berikut :
Realita ini mengingatkan kita akan kepemimpinan yang Allah SWT karuniakan kepada Ibrahim AS. Beliau diangkat menjadi pemimpin (imaaman linnaas) setelah melalui proses panjang dan ujian yang bertubi-tubi.
Ini pulalah yang menjadi alasan penting kenapa pemimpin dongkrakan, pemimpin dadakan, pemimpin mumpun, dan semacamnya tertolak. Apalagi jika memang kepemimpinan itu diraih karena koneksi nepotis dan melalui proses manipulasi aturan dan pelanggaran etika berat. Sekali lagi, pemimpin seperti ini harus ditolak karena memilihnya juga bentuk pelanggaran etika yang memalukan.
Dua, bahwa untuk mencapai kepemimpinan itu perlu proses pensucian jiwa (tazkiyah). Konon sebelum diperjalankan dada Rasulullah dibelah dan disucikan dengan air zamzam. Dengan hati yang bersih itu seorang pemimpin akan melakukan proses perjalanan kepemimpinannya dengan baik. Menghindari cara-cara manipulatif yang menghalalkan segala cara. Dan yang terpenting hatinya bersih dari kepentingan egoistik (kepentingan sempit) untuk mendahulukan kepentingan bangsa dan negara.
Karena jiwa yang telah dibersihkan itulah Rasulullah memilih minum alami (susu) dan bukan minuman yang mudhorat (khamar). Pemimpin yang berhati bersih akan memilih/mengambil kebijakan yang bermanfaat. Bukan kebijakan yang merusak.
Sesungguhnya hati bersih dan jiwa lurus ini bisa dinilai dari proses-proses yang dilalui untuk meraih kepemimpinan itu. Proses-proses yang bertendensi menghalalkan segala cara, memaksakan kehendak dengan memanipulasi hukum, bahkan melanggar etika berat jelas menggambarkan hati dan jiwa yang kotor. Pemimpin yang seperti ini harus ditolak karena tidak saja tidak sesuai. Tapi akan membahayakan negara dan bangsa di masa depan.
Tiga, dengan jiwa bersih tadi pemimpin dalam Islam akan mampu melepaskan diri dari tunggangan hidupnya (dorongan dunia). Konon dalam perjalanan itu Rasulullah menaiki kendaraan yang disebut “Al-Buraq”. Ragam makna yang telah diberikan tentang Buraq ini. Salah satunya adalah bahwa dalam perjalanan hidup ini kita menunggangi wujud jasad (material) kita. Tapi ketika Rasulullah tiba di masjidil Al-Aqsa, beliau turun dan mengikatnya. Itulah jasad kita di saat kita berada di rumah suci yang jauh (pengabdian kepada Allah) jauhkan dorongan dunia/material kita.
Seorang pemimpin harus mampu mengikat (mengendalikan) kecenderungan materialnya. Berada di posisi kepemimpinan yang biasa ditandai oleh kekuasaan membuka pintu-pintu godaan duniawi yang luar biasa. Seseorang yang nampak lugu, tidak ambisi, sederhana, bisa tiba-tiba jadi rakus dan bernafsu tinggi untuk melanggengkan kekuasaan itu. Di sinilah kemudian rentang terbangun dinasti kepemimpinan yang jahat dan memalukan.
Empat, bahwa kepemimpinan dalam Islam, apalagi dalam konteks dunia global masa kini, harusnya bersifat global. Rasulullah mengimami para nabi dan rasul menunjukkan jika kepemimpinan beliau bersifat universal. Karenanya pemimpin yang dikehendaki dalam Islam adalah pemimpin yang memiliki kapasitas internasional. Memiliki wawasan/pemahaman dan kemampuan untuk menjadi bagian dari dunia global dengan segala dinamikanya.
Kepemimpinan global itu harus bersifat lintas batas. Dunia semakin mengecil dan permasalahan yang ada juga saling bersentuhan. Perang Rusia-Ukrain misalnya berpengaruh kepada harga-harga Sembako dì Indonesia. Karenanya pemimpin yang berwawasan global harus mampu menghadirkan upaya penyelesaian yang realistik. Bukan sekedar “political stunt”. Tiba-tiba naik kereta ke daerah konfik tanpa gagasan (rencana) yang jelas.
Yang pasti, pemimpin yang diperlukan dunia global ke depan adalah pemimpin yang memiliki kecerdasan (otak). Bukan sekedar kekuatan (otot). Slogan-slogan yang selama ini kita dengarkan bahwa kita harus kuat agar tidak dizholimi, itu tidak terlalu relevan. Kekuatan yang paling menentukan dunia ke depan adalah kekuatan kecerdasan. Jepang, Korea, dan banyak negara-negara Eropa menjadi kuat karena kecerdasan. Bukan sekedar karena kekuatan militernya.
Lima, bahwa pemimpin dalam Islam itu memiliki koneksi ketuhanan yang solid. Perjalanan ke atas (Mi’raj) Rasulullah dan diterimanya perintah sholat, merupakan makna terpenting dari koneksi ketuhanan itu. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang sadar Tuhan dan tunduk patuh kepada-NYA Tentu secara khusus, dalam konteks keindonesiaan, pemimpin itu harus memilki komitmen Pancasila yang berketuhanan.
Semua yang terjadi dalam perjalanan Mi’raj (ascension) menunjukkan koneksi ketuhanan. Bahkan Jibril pun konon kabarnya tidak diperbolehkan ke maqaam tertinggi itu untuk berkomunikasi langsung dengan Pencipta. Menunjukkan keistimewaan yang sangat luar biasa bagi manusia yang mencapai tingkatan ketinggian (kepemimpinan) itu.
Poin kelima ini sesungguhnya tersimpulkan dalam firman Allah: “Dan Kami (Allah) jadikan mereka pemimpin-pemimpin. Mereka mengikuti petunjukKu. Dan Kami wahyukan kepada mereka untuk berbuat kebaikan, mendirikan Sholat, mengeluarkan Zakat, dan hanya kepada Kami mereka mengabdi” (Al-Ambiya: 74).
Pemimpin yang tidak menjaga Sholat, bahkan mungkin saja tidak Sholat dan tidak peduli Sholat adalah pemimpin buruk yang tidak dikehendaki. Dengan Sholat itu seorang pemimpin akan lebih stabil sacara emosional. Karena sholat itu jalan mengingat Allah SWT dan dengan mengingat Allah SWT, hati menjadi lebih tenang.
Enam, dengan semua proses yang dilalui tadi, pemimpin dalam Islam akan memiliki kemapanan hati dan jiwa dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Sekembali Rasulullah dari Isra Mi’raj dan beliau menceritakan peristiwa itu kepada kaumnya. Ternyata cerita itu jadi jalan cemohan, cacian dan makian. Bahkan sebagian pengikut yang masih lemah meninggalkan beliau karena dianggap menyampaikan sesuatu yang tidak logis dan tidak masuk akal.
Di sinilah Rasulullah sebagai pemimpin menghadapinya dengan hati yang matang dan mapan. Beliau kembali kepada Sholat (koneksi ketuhanan) tadi. “Kepada Engkau kami tawakkal. Dan kepadaMu kami akan kembali”. Sikap Rasulullah ini diikuti oleh sahabat terdekatnya Abu Bakar yang merespon godaan orang kafir dengan ketegasan: “Kalau itu dari Muhammad, saya percaya. Saya sudah mempercayainya dalam hal-hal yang lebih besar dari itu”.
Hal ini menyimpulkan bahwa pemimpin itu tidak mudah goyah. Dia tidak terbang dengan pujian. Tapi juga tidak terjatuh karena tantangan. Dia akan stabil, lurus, berserah diri sepenuhnya pada Allah SWT, dan terus melakukan pengabdian yang terbaik. Dia tidak emosi dan marah ketika dikritik. Tapi juga tidak lupa diri dengan sanjungan para penjilat.
Semoga Allah SWT memudahkan bagi Indonesia untuk menemukan pemimpin yang berkarakter Al-Isra wal Mi’raj itu. Amin! (***/goes)
(PENULIS : Ustadz H. Muhammad Shamsi Ali Lc MA Ph.D adalah Imam di Islamic Center of New York dan Direktur Jamaica Muslim Center, sebuah Yayasan dan Masjid di kawasan timur New York, Amerika Serikat)