Khutbah Idhul Fitri 1445 H di Masjid Jami Al-Ikhlas Kebalen, KYAI MAKHTUM : “Puncak Ketaqwaan Membentuk  Kematangan Spiritual & Sosial”

BEKASI (POSBERITAKOTA) – Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idhul Fitri yang dimuliakan Alloh Ta’ala. Alhamdulillah Tsumma Alhamdulillah, segala puji hanya milik Alloh Ta’ala. Alhamdulillah bahwa pada hari ini dengan izin dan atas pertolongan Alloh serta rahmat-NYA, kita telah diberikan panjang umur, kesehatan dan kesempatan untuk merampungkan ibadah selama satu bulan penuh berpuasa, berikut beragam rangkaian amal sholeh dan ibadah sunah di dalamnya.

Demikian pembuka khutbah Idhul Fitri 1445 Hijriyah Drs KH Muhammad Makhtum selaku imam dan khotib, di Masjid Jami Al-Ikhlas RW 025 Perumahan Villa Gading Harapan (VGH) Gerbang Timur, Kelurahan Kebalen, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Rabu (10/4/2024). Tidak kurang dari 500-an jamaah, baik dari warga RW 025 VGH maupun sekitarnya, ikut memadati pelaksanaan shalat Ieds di pagi yang cerah tersebut. Ustadz Wanito sebagai Bilal, sedangkan MC acara dipercayakan kepada Ustadz Baharuddin.

“Lantas, setelah kita meraih momen kemenangan tersebut, apakah yang mesti harus kita perbuat setelahnya? Apakah kita hanya cukup berbangga diri dengan kenaikan pencapaian spiritual? Ataukah kita cukup merayakannya dengan penuh suka cita, senang bahagia? Atau, seperti apa dan bagaimana seharusnya?” Begitu lanjut Kyai Makhtum dalam khutbahnya yang sangat menyentu kalbu.

Disebutkan Kyai Makhtum bahwa Idhul Fitri bukanlah ajang kompetisi lomba dan bukan seperti turnamen sepakbola yang kemenangannya harus dirayakan dengan euforia serta penuh kebanggaan. “Namun, kemenangan Idhul Fitri adalah ketika kita berhasil meraih kematangan spiritual dan sosial, tentunya setelah ada satu bulan penuh digembleng dan dididik di madrasah Ramadhan. Secara spiritual, selama Ramadhan itulah, kita sebagai umat Muslim telah melakukan dengan serangkaian ibadah,” tambahnya.

Menurut Kyai Makhtum melanjutkan khutbahnya bahwa mulai dengan berpuasa hingga berusaha memaksimalkan ibadah-ibadah sunnah di dalamnya seperti shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an, beri’tikaf di masjid, bersedekah dan seterusnya. “Maka, sudah seharusnya kita dapat maksimal melewatinya dengan melaksanakan beragam amalan sholeh di dalamnya. Lantas dengan demikian, walhasil kita akan merasakan sentuhan dan pencapaian spiritual setelah bulan suci berlalu,” urainya, panjang lebar.

Dan, terkait puasanya sendiri, Alloh Ta’ala menegaskan:

يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَ

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” (QS Al-Baqarah: 183).

“Marilah kita cermati bersama ayat ini. Alloh Ta’ala menyampaikan bahwa tujuan melaksanakan puasa adalah untuk melahirkan hamba-hamba yang bertaqwa, yakni orang yang mematuhi segala bentuk perintah agama dan menjauhi semua larangan-NYA dengan segenap kemampuannya. Lantas, bagaimana bila kita dapat mengamalkan beragam rangkaian ibadah sunnah di dalamnya? Tentunya, kitapun bakal menemukan titik kematangan spiritual,” ajak Kyai Makhtum kepada kalangan jamaah yang hadir.

Inilah yang dimaksud dengan sebuah pencapaian spiritual.

اللهُ أَكْبَرُ ٣×، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idhul Fitri yang dimuliakan Alloh Ta’ala

“Bilamana kita sudah melakukan banyak ibadah selama Ramadhan, maka akankah kita anggap sudah selesai begitu saja? Tentunya tidak! Namun sebisa mungkin kita tetap harus menanamkan prinsip khouf dan rojā’ pada diri kita. Apakah Khouf dan roja‘ tersebut? Khouf adalah satu kekhawatiran apakah ibadah kita diterima oleh Alloh Ta’ala ataukah tidak, sehingga kita tidak terlalu puas dan berbangga diri dengan pencapaian ibadah yang telah kita lakukan. Sementara rojā’ adalah sikap optimisme bahwa Alloh dengan sifat kasih sayang-NYA, pasti mau menerima amal ibadah yang kita lakukan,” urainya, lagi.

Oleh karenanya, dikatakan Kyai Makhtum, saat Ramadhan berlalu, kita pun harus dapat menerapkan dua sikap ini secara proporsional dan berimbang. Orang yang ibadahnya tidak didasari sifat khouf atau khawatir, maka akan terlalu percaya diri dengan ibadah yang telah dilakukannya, sehingga dikhawatirkan ia akan merasa cukup dengan rangkaian amal yang telah dilakukan. Sementara sifat rojā’ juga penting diperlukan agar kita tidak putus asa kepada Alloh Ta’ala. Sifat roja’ atau harapan besar ini dilakukan dengan rasa optimis bahwa Alloh akan menerima ibadah yang telah kita perbuat. Sebab, Alloh itu sesuai dengan prasangka hamba-NYA.

Imam Al-Ghozali dalam kitab Iḥya’Ulūmiddīn menyampaikan:

أَنْ يَكُوْنَ قَلْبُهُ بَعْدَ الإِفْطَارِ مُعَلَّقاً مُضْطَرِبًا بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ إِذْ لَيْسَ يَدْرِي أَيُقْبَلُ صَوْمُهُ فَهُوَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ أَوْ يُرَدُّ عَلَيْهِ فَهُوَ مِنَ الْمَمْقُوتِينَ وَلْيَكُنْ كَذَلِكَ فِي آخِرِ كُلِّ عِبَادَةٍ يَفْرَغُ

Artinya : “Setiap selesai berbuka puasa, seyogyanya kita merasa khawatir sekaligus menaruh harapan kepada Alloh. Khawatir jangan-jangan ibadah kita tidak diterima, juga berharap besar bahwa Alloh menerimanya. Sebab, kita tidak tahu apakah puasa kita diterima sehingga termasuk hamba yang dekat di sisi Alloh, ataukah sebaliknya justru ditolak sehingga kita termasuk hamba yang mendapat murka-NYA. Sikap seperti ini harus diterapkan pada setiap selesai melakukan ibadah apapun”.

Sedangkan Imam Al-Ghozali berpesan agar setiap selesai berbuka puasa, kita menerapkan sikap khouf dan rojā’ terhadap puasa yang sudah kita laksanakan. Untuk satu ibadah berupa puasa saja, perlu ditanamkan prinsip ini. Apalagi setelah selesai satu bulan dengan segala amalan sunah di dalamnya. Dapat dibayangkan, orang yang sudah beribadah maksimal saja tidak boleh berbangga diri dan terlalu percaya diri dengan amalnya, apalagi mereka yang ibadahnya hanya biasa-biasa saja dan ala kadarnya

Dalam berpuasa, dipaparkan Kyai Makhtum, tidak sekedar ibadah yang hanya memiliki nilai spiritual, akan tetapi juga mengandung nilai ritual keagamaan, yang mana dapat mendidik dan menumbuhkan kepekaan sosial bagi pengamalnya. Saat kita berpuasa, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam, sejatinya kita sedang digembleng oleh Alloh Ta’ala agar diri ini memiliki rasa empati yang tinggi. Sebab, orang yang berpuasa pastinya akan merasakan, betapa payahnya menahan lapar dan dahaga selama kurang lebih tiga belas jam dalam kurun waktu satu bulan.

“Dengan pengalaman yang demikian itu, kita akan tergerak hatinya. Sadar diri bahwa seperti inilah nasib saudara-saudara kita yang hidupnya serba berkekurangan, yang hanya untuk mencari sesuap nasi saja harus memeras keringat, pontang panting kesana-kemari tanpa menghiraukan hujan dan panasnya sengatan terik matahari. Barangkali lapar dan haus kita akan berakhir di waktu Maghrib, namun sebagian saudara-saudara kita yang hidup dengan ekonomi sangat rendah boleh jadi merasakan lapar sepanjang kehidupannya, bahkan untuk makan esok harinya saja, mungkin masih bingung harus mencari ke mana?” Demikian ucap Kyai Makhtum.

Oleh karenanya, diuraikan Kyai Makhtum secara panjang lebar, saat Idul Fitri sudah tiba, kita seharusnya sudah dapat mencapai titik empati tersebut, karena telah melalui gemblengan didikan berpuasa selama satu bulan. Namun patut disayangkan, sebab kadangkala kita sendiri justru terlalu larut dalam kegembiraan dan suka cita yang kita sebut sebagai Hari Kemenangan, hingga berasyik-ria dengan THR dan juga pendapatannya, lantas berusaha membeli pakaian baru, motor dan mobil baru. Bahkan rumah baru atau merenovasinya.serta menikmati hidangan spesial Idhul Fitri, berkumpul dengan sanak saudara yang masih utuh, dan sejumlah momen keceriaan lainnya.

“Namun, kita lupa bahwa di Hari Kemenangan ini boleh jadi masih ada saudara-saudara kita yang menderita. Jangankan menerima THR, bahkan pekerjaan dengan gaji tetap pun tidak punya. Jangankan menikmati aneka hidangan makanan, untuk makan sehari-hari pun masih harus mengetuk pintu dari satu tetangga ke tetangga yang lainnya. Begitupun dengan mereka yang sudah tidak memiliki keluarga karena tertimpa musibah dan bencana. Jangankan berkumpul dengan sanak keluarga, bahkan sosok ibu dan ayahnya pun bahkan telah tiada. Ayuuuuuk mari kita renungi kembali pada momen yang Fitri ini. Sudahkah kita merasakan hari kemenangan sejati dengan meraih nilai-nilai kemenangan yang seharusnya? Kemenangan yang bukan karena kita telah finish melewati jalan terjal Ramadhan, namun kemenangan sesungguhnya yang tidak saja mendapatkan kematangan spiritual, melainkan juga memperoleh pencapaian kepekaan sosial terhadap lingkungannya,” katanya.

Pada sisi lain, Kyai Makhtum menyebutkan bahwa puasa sendiri sejatinya adalah representasi dari sejumlah ibadah yang ada. Sebab, sebagaimana puasa, ibadah-ibadah yang lain pun juga memiliki semangat spiritual dan sosial yang harus kita raih secara bersamaan. Dengan sibuk mencari pencapaian spiritual saja namun mengabaikan aspek sosialnya, maka hanya akan membuat kita buta terhadap lingkungan hidup kita. Sebaliknya, terlalu sibuk dengan aspek sosial semata, namun mengabaikan sisi spiritualnya, maka hanya akan membuat kita semakin jauh dari Alloh Ta’ala.

Dalam satu hadits yang diriwayatkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فُلَانَةُ تَصُومُ النهار ، وتقوم اللَّيْلَ ، وَتُؤْذِي جِيرَانَهَا . قَالَ : هِيَ فِي النَّارِ . قَالُوا : فُلَانَةُ تُصَلِّي الْمَكْتُوبَاتِ ، وَتَصَدَّقُ بِالْأَثْوَارِ مِنَ الْأَقِطِ ، وَلَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا ؟ قَالَ : هِيَ فِي الْجَنَّةِ

Artinya : “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, ‘Sekelompok sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, ada seorang perempuan ahli puasa dan ahli ibadah malam, namun dia masih suka menyakiti tetangganya. Bagaimana pendapatmu?’ Rasul menjawab, ‘Dia akan masuk neraka.’ Mereka bertanya lagi, ‘Ada pula seorang perempuan yang hanya menunaikan shalat lima waktu, bersedekah dengan sepotong keju, dan tidak menyakiti tetangganya. Bagaimana pendapatmu?’ Rasul menjawab, ‘Dia akan masuk surga.” (HR Al-Hakim).

“Semoga di momen spesial ini, dapat menjadikan diri kita merasakan kemenangan yang hakiki. Kemenangan yang tidak sekedar menandai diri kita telah merampungkan satu bulan berpuasa. Tapi juga dapat menghantarkan kepada pencapaian puncak ketaqwaan hingga membentuk kematangan spiritual dan sosial yang sebenarnya,” tutup khutbah Kyai Makhtum. © RED/PBK/AGUS SANTOSA

 

Related posts

Program ‘Hikmah’ di Masjid Istiqlal Jakarta, MERAMU IKHLAS dari Wafatnya Orang yang Terkasih

Kajian Jumat Pilihan di Masjid Istiqlal Jakarta, AKHLAK Terhadap yang Lemah & Susah

Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, MAKNA ESOTERIS Kumandang Adzan