OLEH : PROF. DR. KH. NASARUDDIN UMAR, MA
MOMENTUM Idhul Fitri menjadi kesempatan besar bagi umat Islam (khususnya) untuk meningkatkan silaturahim. Bagi mereka yang berada di rantau, saat Idhul Fitri merupakan kesempatan untuk pulang ke kampung halaman. Tujuan utamanya, tentu saja bersilaturahim dengan kedua orangtua, saudara, kerabat, tetangga dan handai tolan.
Namun, dalam dunia tasawuf, pulang ke kampung halaman ialah kembali ke jati diri kita paling luhur, setelah digodok dan ditempa selama sebulan penuh melalui Ramadhan (secara harfiah berarti: “membakar, menghanguskan”).
Diharapkan dengan amaliah yang maksimum yang kita lakukan selama Ramadhan, senantiasa mendapatkan ridha Allah subhanahu wata’ala sehingga pada saatnya kita juga akan memperoleh suasana bahagia di surga. (QS.Thaha.(20): 118-119).
Di Indonesia, silaturahim antar keluarga, teman, tetangga, relasi, dan lainnya yang digelar seusai Ramadhan umumnya disebut dengan istilah halal bihalal. Ini adalah produk asli Indonesia. Halal bihalal menjadi produk lokal (local product) dari silaturahim Indonesia. Namun, kini sudah menyebar hingga ke Malaysia, Brunei dan Singapura.
Di Malaysia berawal dari perkebunan kelapa sawit yang di sana jutaan WNI bekerja. Setiap usai lebaran, mereka berpindah-pindah dari blok ke blok, biasanya berdasarkan asal
daerah masing-masing. Lama kelamaan tradisi ini berlangsung di kota-kota yang semula hanya menjadi arena silaturahim antara sesama WNI. Kemudian, halal bihalal ini menjadi familier di Malaysia. Hal yang sama terjadi di Riyadh, Kuwait dan AS.
Asal-usul halal bihalal ini bermula ketika anak-anak muda Masjid Kauman, Yogyakarta, sekitar Agustus 1945 kebingungan mencari tema karena terjadi dua peristiwa istimewa. Di satu sisi, perayaan Idhul Fitri sebagai wujud kemerdekaan spiritual dan sisi lain baru saja dilakukan Proklamasi Kemerdekaan RI.
Bagaimana supaya kedua peristiwa ini terangkum menjadi satu. Karena itu, diadakanlah sayembara kecil-kecilan untuk menemukan tema yang akan ditulis di dalam spanduk. Salah seorang seniman mengusung tema halal bihalal yang intinya saling memaafkan, saling merelakan dan saling menghalalkan. Warga yang pernah dikucilkan masyarakat karena terlibat mata-mata Belanda atau pengkhianat bangsa, diserukan untuk dimaafkan.
Momentum Idhul Fitri digunakan untuk menggalang persatuan dan kesatuan dalam mengisi kemerdekaan. Sejak itu, halal bihalal dilakukan di Jakarta yang pada mulanya berisi pesan kuat integrasi nasional. Jangan lagi ada dendam antara satu sama lain. Lapangkan dada dan hilangkan warna-warni lokal di hadapan kebesaran Allah subhanahu wata’ala.
Kini, halal bihalal menjadi istilah khas dan menjadi yang tidak budaya Indonesia. Halal bihalal adalah bahasa Arab diketahui maknanya oleh orang-orang Arab. Kalau halal minal haram mungkin bisa dipahami, tetapi ‘halal bihalal‘ sebuah kata majemuk yang tidak lazim. Itulah keajaiban halal bihalal. Namun, apapun namanya, silaturahim akan memberikan energi spiritual untuk lebih eksis bagi kita dalam menjalani kehidupan. Mari memupuk silaturahim. © (***/goes)