Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, UNCONDITIONAL LOVE (Cinta Ilahi)

OLEH : PROF. DR. KH. NASARUDDIN UMAR, MA

DALAM Al-Qur’an dikenal tidak kurang dari 14 terminologi cinta, antara lain al-hubb, al-isyq, al-syaghaf, al-wudd, dan al-taalluq. Istilah-istilah itu menggambarkan berbagai bentuk dan kualitas cinta, mulai dari cinta monyet sampai cinta Ilahi (mahabbah).

Semakin tinggi derajat cinta, semakin terbatas persyaratan cinta itu sehingga cinta itu tidak lagi mengenal dan bergantung pada kondisi tertentu. Mungkin karena itu cinta ini disebut dengan unconditional love.

Cinta Ilahi (unconditional love) ialah puncak kecintaan seseorang kepada Tuhan. Begitu kuat cinta itu, maka seolah yang mencintai dan yang dicintai menjadi satu. Yang mencintai dan yang dicintai terjadi persamaan secara kualitatif sehingga antara keduanya terjalin keakraban secara aktif.

Sebetulnya, semua orang berpotensi mencapai kualitas cinta ini karena memang semua berasal dari-NYA dan pada akhirnya akan kembali kepada-NYA (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Kedua entitas itu berbeda, tetapi sulit untuk dipisahkan, seperti laut dan gelombangnya, lampu dan cahayanya, api dan panasnya.

Kita tidak bisa mengatakan laut sama dengan gelombang, lampu sama dengan cahaya, atau api sama dengan panas, demikian pula kita tidak bisa mengatakan antara yang mencintai dan yang dicintai betul – betul sama atau antara makhluk sama dengan Khalik.

Lautan cinta pada diri seseorang akan mengimbas pada seluruh ruang. Jika cinta sudah terpatri dalam seluruh jaringan badan kita, vibrasinya akan menghapus semua kebencian. Sebagai manifestasinya dalam kehidupan, begitu bertemu dengan seseorang, ia tersenyum sebagai ungkapan dan tanda rasa cinta.

Nikmat sekali ‘bermesraan‘ dengan Allah subhanahu wata’ala. Kadang tidak terasa air mata meleleh. Air mata kerinduan dan air mata taubat inilah yang kelak akan memadamkan api neraka. Air mata cinta akan memulihkan noda-noda hitam dan menjadikannya suci. Cinta tidak bisa diungkapkan, hanya bisa dirasakan.

Terkadang terasa tidak cukup kosakata yang tersedia untuk menggambarkan bagaimana nikmatnya cinta. Kosakata yang tersedia didominasi oleh kebutuhan fisik sehingga untuk mencari kata yang bisa memfasilitasi keinginan rohani tidak cukup.

Terminologi dan kosakata yang tersedia lebih banyak berkonotasi cinta pada fisik materi, tetapi terlalu sedikit kosakata cinta secara spiritual. Mungkin itulah sebabnya mengapa Allah subhanahu wata’ala memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an karena kosakata spiritualnya lebih kaya. © [***/goes]

Related posts

Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, MENUJU FANA’ & Baqa’

Tak Sekadar Ritual Tahunan, KHUTBAH USTADZ SAEFUL AZIZ: Idhul Adha Teladan Ikhtiar & Tawakal Nabi Ibrahim bagi Keluarga

Khutbah di Masjid Istiqlal, DR H MUH YAHYA AGIL MM Bahas Soal Hikmah Ibadah Qurban Bagi Kaum Dhuafa