OLEH : SUGIYANTO (SGY) – EMIK
ARTIKEL (opini) ini saya tulis sebagai penutup tahun 2024, yang bisa mewakili inti dari berbagai artikel saya sebelumnya. Inspirasi muncul dari video viral yang beredar di media sosial, membandingkan pernyataan Prabowo Subianto sebelum dan sesudah menjadi Presiden RI.
Dalam video tersebut, sebelum menjabat sebagai Presiden, Prabowo dengan tegas menyatakan: “Saudara-saudara sekalian, begitu saya dilantik jadi Presiden Indonesia, jika memang saya menerima mandat dari rakyat, pada saat itu saya akan cari bukti-bukti korupsi semua itu. Dan pada saat itu, mulai saat itu, saya akan kejar koruptor-koruptor itu, bila perlu sampai ke Antartika, sampai ke padang pasir yang paling jauh, akan saya kejar.”
Namun, setelah menjabat sebagai Presiden, pernyataan beliau dalam video yang sama berubah menjadi lebih lunak: “Hai para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan, cara mengembalikannya bisa diam-diam, supaya tidak ketahuan, mengembalikan lho ya, tapi kembalikan.”
Pernyataan tersebut menarik untuk menjadi bahan diskusi, terutama di kalangan pakar hukum dan pencinta penegakan keadilan. Sebagai perbandingan, saya teringat pernyataan Zhu Rongji saat dilantik menjadi Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada tahun 1998. Zhu dengan tegas berkata: “Siapkan 100 peti mati untuk para koruptor, dan gunakan 99 peti itu. Sisakan satu untuk saya bila saya korupsi.”
Ketegasan itu mencerminkan komitmen serius pemerintah Tiongkok dalam memberantas korupsi, yang diyakini sebagai salah satu kunci keberhasilan mereka menjadi negara maju. Tiongkok bahkan tidak segan menjatuhkan hukuman mati kepada koruptor. Salah satu contohnya adalah Li Jianpin, yang merugikan negara hingga Rp6,7 triliun dan dijatuhi hukuman mati pada September 2022.
Sebaliknya, di Indonesia, sejak Reformasi tahun 1998 dengan berbagai perubahan peraturan dan kebijakan, hukum sering dianggap “tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Kondisi ini menjadi salah satu alasan mengapa negeri ini belum mampu maju secara signifikan dan terus mengalami defisit anggaran dalam APBN, yang bergantung pada pajak rakyat dan utang negara. Ironisnya, penegakan hukum yang seharusnya menjadi pilar keadilan justru kerap menimbulkan ketidakpuasan publik.
Dalam sistem hukum demokratis, prinsip independensi hukum adalah fondasi penting untuk menjaga keadilan. Tidak ada pihak, termasuk Presiden, yang diperbolehkan mengintervensi proses hukum. Prinsip ini dirancang agar lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dan pengadilan bekerja tanpa tekanan politik. Namun, apa yang harus dilakukan ketika integritas lembaga-lembaga tersebut rusak dan keadilan rakyat terancam?
Sebagai contoh nyata, kasus korupsi tata niaga timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun menunjukkan lemahnya penegakan hukum. Boleh jadi dimulai dari Jaksa yang hanya menuntut terdakwa utama, Harvey Moeis, dengan hukuman 12 tahun penjara. Kemudian, vonis hakim yang akhirnya justru lebih ringan, hanya 6,5 tahun.
Tuntutan Jaksa dan keputusan hakim tersebut mungkin saja semakin memperkuat kesan lemahnya upaya pemberantasan korupdi dan kejahatan besar lainnya di Indonesia. Dalam konteks ini, ketika hukum gagal memberikan keadilan, apakah Presiden perlu diberi kewenangan khusus untuk mengintervensi demi kepentingan negara?
Intervensi semacam ini harus dilakukan dengan transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan ketat. Presiden memiliki tanggung jawab moral untuk menjamin keadilan dan keberlanjutan pembangunan. Dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, meskipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak dapat secara langsung melakukan intervensi hukum, desakan publik agar Presiden mengevaluasi kinerja lembaga penegak hukum menjadi sorotan utama.
Contoh lain adalah kasus Bharada Richard Eliezer, di mana publik juga menilai bahwa Jokowi tidak melakukan intervensi hukum. Pendekatan tersebut kerap dianggap sebagai penegasan prinsip penghormatan terhadap proses hukum.
Kini, di era Presiden Prabowo Subianto, yang dikenal dengan citra tegasnya melawan korupsi, muncul tantangan baru. Apakah beliau akan tetap memegang prinsip tidak mengintervensi hukum, atau justru mengambil langkah progresif untuk memastikan hukum menjadi instrumen kemajuan negara?
Dalam kondisi seperti ini saya berpendapat bahwa ketika sistem hukum tidak berfungsi optimal, pemberian kewenangan khusus kepada Presiden layak dipertimbangkan. Dengan pengaturan yang baik, kewenangan ini dapat menjadi solusi atas kelemahan sistem hukum tanpa merusak prinsip independensi. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh elemen bangsa, termasuk rakyat, dalam upaya menjadikan negara yang kaya raya ini maju dan mampu menyejahterakan rakyatnya. (***/goes)
(Penulis : SUGIYANTO (SGY) – Emik adalah Pengamat Kebijaka Publik, kini tinggal di Jakarta)