JAKARTA (POSBERITAKOTA) ■ Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya mengeluarkan aturan kalau mantan napi terutama koruptor, bandar narkoba dan pelaku pelecehan seksual terhadap anak untuk tidak diperbolehkan mencalonkan diri sebagai Pemilihan legislatif (Pileg) 2019.
Meski mendapat pertentangan soal Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 20 / 2018, dalam pasal 7 ayat (1) huruf (h), tapi tetap mengatur larangan tersebut. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pernah menegaskan kalau dirinya tak akan menandatangani draf PKPU yang mengatur larangan tersebut.
Menurutnya, PKPU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu menyatakan bahwa seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.
Dengan demikian mantan narapidana korupsi pun bisa mencalonkan diri sebagai Caleg. Yasonna mengatakan KPU tidak memiliki kewenangan untuk menghilangkan hak politik seseorang, selama tidak diatur dalam undang-undang.
Pandangan ini tentunya tidak sependapat dengan praktisi hukum, Stefanus Gunawan SH Mhum. Pengurus Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) DPC Jakarta Barat ini berpendapat peraturan KPU No 20/ 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD propinsi dan DPRD Kabupaten /kota tersebut sudah tepat sebagai bentuk komitmen bersama untuk menjadikan negara ini lebih baik ke depan.
“Aturan PKPU itu, saya sangat setuju sekali. Sebab, bagaimana seorang pemimpin baik legislatif maupun eksekutif yang sudah pernah dihukum dalam kasus yang dimaksud, bisa menjadi seorang pemimpin bangsa ini ?” Begitu ucap Ketua Komite Bidang Pendidikan dan pengembangan Profesi Advokat Peradi kubu Juniver Girsang ini.
Menurutnya, seorang pemimpin itu harus menjadi panutan dan contoh yang baik. “Masih banyak kok, anak bangsa ini yang bersih dan baik. Jadi, kenapa harus mencari pemimpin yang pernah menjadi mantan napi dalam perkara perhatian publik dan prioritas negara untuk dibrantas?” Demikian tegas Stefanus bernada tanya.
Advokat yang pernah menerima penghargaan ‘The Leader Achieves In Development Award’ dari Anugerah Indonesia dan ‘Asean Development Citra Award’s’ dari Yayasan Gema Karya tersebut, menambahkan tentunya sejak awal Parpol wajib melakukan seleksi yang ketat terhadap semua calengnya. Termasuk tidak meloloskan mereka yang sudah terbukti secara hukum melakukan kajahatan luar biasa sesuai peraturan KPU.
“Yang jelas adalah tujuan bangsa ini ingin menjadikan negara yang bersih dari korupsi. Lalu, bagaimana negara ini mau bersih, jika pemimpinnya mantan koruptor? Jadi, dimana KPU melanggar hak konstitusional warga negara Indonesia? Saya pikir tidak melanggar kok. Tapi bila ada yang menilai hal ini sebagai pelanggaran, silahkan diuji saja di MK,” tegasnya.
Tentunya, tambah pengacara jebolah magister UGM ini, KPU memiliki otoritas untuk tidak meloloskan caleg yang tidak memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditentukan. “Sebaiknya Parpol harus intropeksi diri. Pilihlah pada calon yang bersih tidak merugikan negara dan rakyat. Sebab Parpol yang bersih dengan sendirinya akan dicintai rakyat,” tegasnya.
Stefanus juga menambahkan bahwa Parpol yang bersih harus berani menjunjung tinggi hukum dan keadilan. “Dan, lebih terpenting lagi, Parpol harus benar selektif dalam menentukan para Calegnya. Bukan atas dasar pesanan dan kepentingan individu. Parpol harus memilih mereka yang benar-benar bersih serta memiliki tekad untuk memajukan bangsa dan negara ini,” pungkasnya. ■ RED/BUD