JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Permohonan Peninjauan Kembali (PK) mantan Direktur PT Pos Indonesia (Persero), Budi Setiawan, SE, MAF, 56, yang diadili atas tuduhan korupsi pengadaan lelang akhirnya dikabulkan.
Putusan yang dijatuhkan pada 19 November 2018 ini merupakan proses hukum yang cukup panjang. Majelis Hakim PK MA-Rl yang diketuai DR Andi Samsan Nganro, SH, MH, menyatakan terdakwa tidak terbukti sebagaimana yang dituduhkan jaksa yakni melakukan korupsi pengadaan lelang. Untuk itu majelis hakim membebaskan terdakwa dari tuduhan tersebut.
Atas putusan ini kuasa hukum terdakwa, Stefanus Gunawan SH, Mhum, menilai putusan PK tersebut sudah mencerminkan keadilan. Menurutnya pertimbangan hukumnya sudah sangat tepat dan benar serta telah memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa dan keluarga besar PT Pos Indonesia. Selain itu juga telah memberi kemenangan bagi seluruh insan yang mendapat perlakuan tidak adil.
“Jelas putusan tersebut memperlihatkan kalau hukum tidak boleh diintervensi oleh siapapun dan apapun. Hukum tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan apapun. Apalagi dalam perkara yang dituduhkan itu terdakwa tidak memperokeh keuntungan apapun secara pribadi dan PT Pos Indonesia. Begitu juga negara juga tidak ada yang dirugikan,” tegasnya kepada Posberitakota, Selasa (19/2).
Sebagaimana dalam pledoinya (pembelaan) Stefanus menyatakan apa yang dilakukan kliennya yang ketika itu sebaga Direktur Teknologi dan Jasa keuangan meneruskan hasil pemenang lelang atas pengadaan 1.725 unit alat PDT mereka lntermac CS40 yang dimenangkan oleh PT. Datindo Infonet Prima kepada Direktur Utama, DR I Ketut Mardjana semata mata karena kliennya melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai Direktur Technologi dan Jasa Keuangan.
Menurutnya kliennya bukanlah orang yang membuat dan menandatangani surat perjanjian kerja tentang pekerjaan pengadaan portable Data Terminal (PDT) No. PKS 101/DIRUT/ 0513 dan No 0220 DIP/V/PKS/2013 tanggal 27 Mei 2013 dan kemudian kliennya dalam kedudukannya sebagai Dirut menyetujui perintah bayar tertanggal 13 Desember 2013 senilai Rp 10. 422. 500. 000 kepada PT Datindo Infonet Prima karena hal tersebut dilakukan semata – mata sebagai Dirut dan syarat-syarat dan prosedural perintah bayar telah terpenuhi sehingga tidak ada kuasa bagi kliennya untuk tidak menurunkan surat perintah bayar tesebut.
“Bahwa apabila dalam pengadaan suatu barang manfaat tercapai maka tidak ada kerugian yang ditimbulkan bagi negara,” ucapnya sambil menyebutkan hal ini sesuai dengan pendapat ahli Prof Dr Eddy Oamar Syarif, SH, Mhum yang menyebutkan kalau tim penyidik tidak memiliki kompetensi dalam menghitung kerugian negara sehingga perhitungan yang terjadi menjadi tidak sah atau tidak ada.
Menurutnya perhitungan kerugian negara Rp 9.474.996 000, sebagaimana dalam tuntutan jaksa adalah hanya asumsi atau hitungan yang dihitung oleh pribadi Jaksa sendiri. Dalam hal ini tim Jaksa Penuntut Umum tidak mempunyai kewenangan untuk menghitung ada atau tidaknya kerugian negara atau perekonomian negara.
Sementara berdasarkan pendapat ahli, Drs Siswo Sujanto menyebutkan bahwa yang berwenang dalam menghitung kerugian negera adalah orang yang bersertifikasi dan memilki kemampuan dalam menghitung yaitu ahli keuangan negara BPKP. Apabila terjadi keterlambatan maka yang harus dilakukan adalah penerapan denda atau sanksi administrasi dan bukan denda.
Sebelumnya terdakwa divonis 1 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsidelr 1 bulan kurungan oleh Majelis Hakim diketuai Berton Sihotang di Pengadilan Tipikor Bandung, 19 Oktober 2015. Begitu juga dalam tingkat banding maupun kasasi putusan itu dikuatkan, hingga pada tingkat PK, putusan ditolak alias permohonannya dikabulkan. ■ RED/BUDHI