Oleh: AGUS SANTOSA
KEBERADAAN Yayasan yang jelas-jelas berbadan hukum, sejatinya jangan dipandang cuma sekadar berdiri, layaknya sebagai organisasi ‘papan nama’ saja. Tapi, harus punya tujuan yang merujuk pada visi dan misinya. Lantas, pencapaian apa yang ingin diraih?
Atau, jangan dipersepsikan, ah yang penting ada jajaran pendiri, pembina, pengawas, ketua pengurus (dalam akta Yayasan), ketua-ketua bidang serta seabreg pengurus lain – tapi tanpa diarahkan apa saja fungsional-fungsional mereka.
Sebab jika kita bicara Yayasan secara utuh, mau tidak mau, sudah masuk pada komitment berorganisasi. Tidak boleh stagnasi, tanpa ada rapat-rapat rutin di jajaran ketua dan pengurus. Nah, apabila abai soal itu, berarti tidak ada dinamisasi dalam organisasi atau di tubuh Yayasan itu sendiri. Ya, buat apa, dong?
Jika dianalogikan sebagai sebuah kendaraan (mobil), jangan hanya sekadar berfungsi atau cuma bisa jalan saja. Padahal, kepemilikan surat-surat yang jelas dan formal sesuai peruntukkannya, itu harus ada. Jadi, perlu ada BPKB dan STNK sebagai kejelasan identitas kendaraan itu sendiri plus SIM bagi para ‘pengemudi‘ yang mengendarai Yayasan tersebut.
Gambaran di atas, dimaksudkan seperti ini. Sungguh jauh dari harapan ideal, jika ada sebuah Yayasan yang sudah berjalan hampir dua tahun lamanya, justru tidak memiliki atau belum dibekali oleh Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai dasar atau landasan kerja untuk ‘pegangan‘ para ketua dan jajaran pengurus melaksanakan fungsional-fungsionalnya. AD/ART justru yang bakal menggerakkan roda organisasi Yayasan bisa berjalan sesuai tujuan dan harapan.
Sebenarnya bukan cuma itu saja. Setelah ada AD/ART pun, maka akan jelas job kerja dari para ketua-ketua bidang atau jajaran pengurus, terkait domain (wilayah) tugasnya masing-masing. Pemaham itupun belumlah cukup. Jangan lupa pula, mereka juga harus punya atau bikin Proker (program kerja) jangka pendek, menengah dan panjang.
Program kerja masing-masing bidang harus tercatat dalam agenda Yayasan yang bisa ‘dipiloti‘ oleh Ketua Pengurus Yayasan atau Pelaksana Harian, misalnya. Jika berkaitan atau diorientasikan untuk akselerasi (percepatan) pembangunan masjid, ya harus dilihat apa yang menjadi skala prioritas. Tidak boleh tumpang tindih atau saling tabrak sesama jajaran ketua dan pengurus.
Hal yang bikin ‘miris‘ lagi, apabila ada personal jajaran pengurus yang tak paham organisasi dan bahkan bukan fungsionalnya sebagai ketua, lantas main ‘tabrak-tabrak‘. Sebaiknya, personal pengurus yang tak paham organisasi kayak gitu, ya jangan direspon dalam struktur Yayasan. Merasa cuma modal pengalaman, merasa bisa ini dan itu, kemudian ‘bak penguasa‘ yang bisa mengatur semua orang, sementara banyak pengurus yang berilmu – justru dianggap tak mampu.
Sebagai contoh lagi, apabila Yayasan tersebut diorientasikan untuk akselerasi pembangunan masjid misalnya, ya harus dimulai dengan sistem keterbukaan (transparan). Deal barang-barang, penunjukkan vendor – harus terbuka yang bisa diakses oleh siapa saja di jajaran pengurus Yayasan. Jadi, tidak boleh ada single mayority penentu atau ada satu orang pengurus menentukan sendiri.
Kunci utama kepercayaan di internal pengurus dan juga masyarakat terhadap keberadaan Yayasan, yakni pada posisi bendahara. Ini juga sangat urgent (bagian penting). Kalau perlu ada 2 orang. Satu orang untuk posisi bendahara umum dan seorang lagi ditempatkan khusus untuk bendahara proyek-proyek pembangunan yang dikerjakan Yayasan.
Termasuk untuk membuktikan ada dinamisasi di organisasi Yayasan, harus diagendakan ada rapat bulanan atau per triwulan. Baik itu khusus untuk internal jajaran pimpinan utama di Yayasan maupun bersama Ketua-Ketua Bidang. Hal penting lain, harus ada rapat tahunan, dimana Ketua Yayasan bersama seluruh pengurus, menerima pemberitahuan laporan keuangan dari Bendahara Umum. Sehingga ketika ada muncul pertanyaaan dari publik (masyarakat), bisa satu suara.
Kesemua itu tentu saja bakal diatur lewat AD/ART dan Proker (program kerja). Karenanya untuk memfasilitasi ya harus ‘dihidupkan‘ kantor sekretariat Yayasan. Bisa untuk rapat-rapat rutin jajaran ketua atau pengurus bidang yang bisa dilakukan sebulan atau dua bulan sekali. Dari situ, maka dinamisasi Yayasan sebagai organisasi, bisa terlihat dan bahkan bisa dirasakan oleh masyarakat.
Urgensinya Yayasan selain harus memiliki AD/ART dan Proker, juga harus terbuka oleh masukan-masukan yang konstruktif dari luar. Apalagi, berdirinya keberadaan Yayasan, lahir dari ‘kepercayaan‘ masyarakat yang refresentasinya diwakili oleh kelembagaan setingkat RT maupun RW. Tidak ‘ujug-ujug’ bisa berdiri sendiri.
Pepatah lama yang menyebutkan ‘Di mana Bumi Dipijak, Di situ Langit pun Dijunjung‘ – mengisyaratkan siapa lagi kalau bukan seluruh pengurus yang akhirnya dituntut punya komitmen kuat. Tujuan akhirnya adalah memiliki kesepemahaman dan kematangan berpikir untuk menuju kemajuan. Jadi, kurang elok apabila di dalam keberadaan Yayasan itu sendiri, cuma ‘dipelihara‘ satu kelompok yang cuma ingin berkuasa menguasai Yayasan.
Yang perlu diingat, diluar keberadaan Yayasan, ada lembaga-lembaga lain RT dan RW atau warga masyarakat – ikut sebagai pengontrol yang suatu saat bisa saja minta difasilitasi dibukanya forum rapat. Karena apa? Jajaran Pimpinan/Ketua atau Ketua–Ketua Bidang yang ada di Yayasan, juga merupakan ‘pejabat publik’ setingkat wilayah RW. Apalagi mengelola kontribusi dana sumbangan internal dari masyarakat untuk pembangunan masjid. (***)
■ (Penulis adalah Wartawan Ibukota Pemerhati Sosial dan Organisasi Sosial Kemasyarakatan)