BEKASI (POSBERITAKOTA) – Ijazah merupakan dokumen negara dan hal ini berdasarkan UU No. 24 tahun 2009 Pasal 27 dijelaskan : “Yang dimaksud dokumen resmi negara adalah antara lain surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian serta putusan pengadilan”. Oleh sebab itu, Sophian Martabaya SH MH (Mantan Hakim Agung), mempertanyakan keabsahan tandatangan ijazah oleh yang tidak berwenang tahun 2019, 2020 dan tahun 2021.
Hasil audit dokumen oleh Badan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) menunjukkan bahwa adanya temuan tentang tandatangan Ijazah oleh yang tidak berwenang mulai tahun 2019 dan 2020, karena saat itu Ijazah 2021 belum terbit. Ketua BPMP Jawa Barat, Mahu Jafar SE MM, memaparkan bahwa ada temuan bahwa Ijazah tahun 2019 ditandatangani oleh Trituti Damayati dan Ijazah tahun 2020 ditanda-tangani oleh Kepala KCD Wilayah III Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Trituti dan Dzulfikri menarik dana BOS di Bank BJB Norek. 0021731137100 tgl. 27 Desember 2018. Penarikan ini dilakukan pada saat Trituti sudah bukan kepala sekolah lagi dan Dzulfikri bukan pengurus Yayasan lagi.
Redaksi POSBERITAKOTA mengkonfirmasi kepada Ketua Yayasan, Bunyamin menjelaskan bahwa Trituti Damayati telah diberhentikan oleh Yayasan Fahd Abdul Malik Tgl. 27 September 2018. Pemberhentian tersebut ditanda-tangani oleh Bunyamin SH sebagai ketua Yayasan. Bunyamin adalah pengurus Yayasan berdasarkan SK Kemenkumham RI Nomor : AHU-AH.01.06.0011247 yang sampai saat ini badan hukumnya sah dan mengikat karena tidak dicabut oleh pengadilan. Bahkan Trituti Damayati juga sudah dicabut izin memimpinnya oleh KCD Wilayah III Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat nomor : 421/0544/CASISDIK WIL.III/2019 tentang pencabutan izin memimpin Trituti Damayati.
Tetapi, fakta dan kenyataanya bahwa Trituti Damayati telah menandatangani Ijazah Tahun 2019 yang merupakan dokumen negara secara tidak berwenang, menandatangani Berita Acara, menandatangani BOS dan fakta integritas yang di atas materai pada tanggal 3 juli 2019.
Berdasarkan informasi yang diterima, Dzulfikri membuat surat pengangkatan St. Rogaya sebagai Plt. Kepala Sekolah. Sejumlah pakar hukum mempertanyakan alas hak Dzulfikri. Bahwa Dzulfikri tidak memiliki alas hak untuk mengangkat dan memberhentikan kepala sekolah maupun pelaksana tugas. Bunyamin SH mempertanyakan ada apa dengan para oknum pengawas di lingkungan KCD Wilayah III Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat? Khususnya pengawas yang mengawasi jalannya Pendidikan di SMK Kesehatan Fahd Islamic School.
Sophian Martabaya SH MH (Mantan Hakim Agung) menjelaskan dikarenakan tidak memiliki alas hak untuk mengangkat dan memberhentikan kepala sekolah, maka diduga telah terjadi mal administrasi. Ini berarti bahwa semua produk yang ditandatangani oleh plt. Kelapa sekolah (St. Rogaya) menjadi tidak sah, karena tidak sah maka semua menjadi tidak memiliki nilai.
Sedangkan Pakar Hukum Tata Negara Prof Dr Sugiono SH MH memberikan argumentasi bahwa berdasarkan aturan bahwa kepala KCD Wilayah III Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat tidak dibenarkan menandatangani ijazah dan ijazah yang telah ditandatangani oleh KCD tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Jadi, hal ini perlu kita pertanyakan.
Sugiono pun mengutip alasannya bahwa Badan Nasional Standarisasi Pendidikan (BNSP) pada tanggal 1 Agustus 2017 mengeluarkan surat edaran dengan nomor : 0081/SDAR/BNSP/VIII/2017 yang pada hurup A, poin ke 3 menyatakan, apabila karena sesuatu dan lain hal tidak ada Kepala Sekolah/Madrasah yang definitif, SHUN dan Ijazah dapat ditandatangani oleh Pelaksana Tugas (PIt) dengan mandat khusus untuk mendatangani SHUN dan/atau Ijazah dari Pejabat Tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota yang berwenang untuk mengangkat Kepala Sekolah/Madrasah.
Ini menunjukkan bahwa pejabat struktural tidak dapat ttd Ijazah. Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Pakar Hukum Tata Negara dari UNPAD, Prof Dr Endang bahwa untuk sekolah swasta Plt. Kepala Sekolah harus ditunjuk oleh ketua Yayasan yang sah dan untuk sekolah negeri ditunjuk oleh Kepala KCD Wilayah III.
Menurut Prof Dr Endang/Pakar Hukum Tata Negara lebih lanjut bahwa berdasarkan Akta Notaris No. 5 Tanggal 5 Juni 2011 (sesuai keputusan pengadilan Tinggi Bandung Nomor : 570/PDT/2020/PT BDG Dzulfikri telah berakhir masa jabatannya, karena jabatan pengurus hanya 5 tahun (UU Yayasan) jadi secara otomatis pada tanggal 16 Juni 2016 sudah demisioner/berhenti. Jadi, penunjukkan St. Rogaya oleh Dzulfikri diduga tidak sah (karena status Dzulfikri yang bukan pengurus Yayasan lagi sejak 16 Juni 2016).
Patut juga diketahui, pada 30 Juli 2019 Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengeluarkan surat edaran nomor : 2/SE/VII/2017 tentang kewenangan pelaksana harian dan pelaksana tugas dalam aspek kepegawaian. Salah satu poin pada surat edaran ini menjelaskan, Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek kepegawaian.
Prof Dr Siti Patimah M.Pd (Pakar Manajemen Pendidikan dari Lampung) menyatakan bahwa Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2017 tentang Ijazah dan Sertifikat Hasil Ujian Nasional dalam pasal 4 ayat (3) menyatakan bahwa ijazah pada pendidikan formal ditetapkan oleh Kepala Satuan Pendidikan. Hal ini sangat jelas, bahwa yang berhak tanda tangan Ijazah adalah kepala sekolah, atau dengan kata lain penandatangan ijazah adalah satuan pendidikan yang bersangkutan atau satuan pendidikan asal. Dengan demikian, Kepala KCD diduga melanggar aturan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2017 dan melanggar kewenangan berdasarkan UU Administrasi pemerintahan No. 30 Tahun 2014.
Penandatanganan Ijazah oleh KCD Wilayah III terus menuai polemik, hal ini sangat disayangkan oleh para aktifis pendidikan dan pakar pendidikan Prof Dr Abdul Hadis M.Pd/Guru Besar UNM berpendapat bahwa KCD Wilayah III seharusnya menyelesaikan masalah tentang legal standing (siapa yang berhak mengelola sekolah berdasarkan SK Kemenkumham terakhir), bukan malah menambah masalah dengan cara menanda-tangani Ijazah, bagaimana nasib siswa selanjutnya jika sekolah dikelola secara tidak sah? Mengapa hal ini terus dibiarkan oleh dinas pendidikan? Ada apa dengan KCD wilayah III?
Sophian Martabaya SH MH (Mantan Hakim Agung/Dosen Fak. Hukum UI) memberikan pencerahan bahwa tandatangan Ijazah memiliki ketentuan yang dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 018/H/EP/2017 tentang Bentuk, Spesifikasi, Pencetakan/Penggandaan, Pendistribusian, dan Pengisian Blangko Ijazah Pada Satuan Pendidikan Dasar Dan Pendidikan Menengah Tahun Pelajaran 2016/2017. Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “Ijazah diterbitkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan” dan pasal ayat (2) “Ijazah ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan yang bersangkutan.” Pengertian dari frasa kata “satuan pendidikan yang bersangkutan” adalah satuan pendidikan di mana peserta didik berasal. Pada ayat 2 berbunyi ditanda-tangani oleh kepala satuan pendidikan, berarti ditanda-tangani oleh kepala sekolah bukan oleh kepala dinas.
Ditambahkan Sophian bahwa dengan alasan apapun Kepala KCD tidak berwenang tanda-tangan Ijazah, itu akan dibolehkan dengan 2 syarat : Ada surat dari pelimpahan wewenang dari ketua Yayasan yang sah berdasarkan sk kemenkumham yang berlaku pada tahun itu, yang kedua harus ada penetapan pengadilan bahwa KCD mewakili kepala sekolah.
Dalam pemaparan berikutnya, Pakar Hukum dan Mantan Hakim Agung Sophian Martabaya SH MH menilai bahwa ada prosedur yang dilanggar oleh KCD Wilayah III, karena kedudukan KCD Wilayah III bukan atasan langsung dari Yayasan Fahd Abdul Malik. Yayasan ini badan hukum sendiri yang bukan bawahan dari KCD. Adapun prosedur yang dimaksud berdasarkan Permendiknas Nomor 14 Tahun 2017 dan edaran BSNP.
Prosedur tersebut yang harus dilakukan antara lain :
KCD Wilayah III Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat seharusnya membuat surat pemberitahuan kepada Yayasan Fahd Abdul Malik yang sah berdasarkan SK Kemenkumham RI Nomor : AHU-AH.01.06.0011247 untuk menunjuk plt. Kepala sekolah yang khusus tandatangan Ijazah; Kemudian Plt. Kepala Sekolah yang tandatangan Ijazah. Karena prosedur tersebut tidak ditempuh maka KCD Wilayah III Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat berpotensi melakukan penyalahgunaan wewenang dan berpotensi melanggar UU No. 30 Tahun 2014, KCD Wilayah III berpotensi untuk digugat secara perdata dan maupun pidana oleh korban yaitu alumni dan walimurid.
Pada bagian lain, Prof Dr Abdul Hadis/Pakar Pendidikan dari UNM, juga menyesalkan langkah KCD yang tidak minta izin kepada pengurus yayasan yang sah. Jika KCD wilayah III mau tandatangan Ijazah, seharusnya membuat permohonan kepada pengadilan untuk dapat menandatangani Ijazah. Hal itupun harus ada izin tertulis dari pengurus Yayasan. Sedangkan yang ada di sekolah itu tanggung renteng (artinya mereka tanpa legalitas mengurus sekolah), masa iya di zaman modern seperti ini orang yang hanya ngotot saja dan menyebarkan fitnah di mana-mana, bisa dipercaya. Padahal coba cek saja SK Kemenkumham mana yang telah ada.
Sophian Martabaya SH MH/ Pakar hukum dari UI/Mantan Hakim Agung menjelaskan bahwa akta nomor 5 tanggal 15 Juni 2011 pendiri dan pembinanya Qurtubi, akta 5 tanggal 15 November 2011 pendiri dan pembinanya Qurtubi. Jadi mau digugat kemanapun, digugat sampai manapun, bahkan sampai PK di MA pun, tetap saja pendiri dan Pembina Qurtubi dengan kata lain mau menang di pengadilan ataupun mau kalah di pengadilan Qurtubi tetap Pendiri dan Pembina Yayasan satu-satunya yang tidak bisa diganti berdasarkan UU Yayasan dan AD ART Yayasan karena Pendiri dan Pembina Yayasan bersifat Absolut dan tidak ada batas waktunya. ■ RED/AGUS SANTOSA