OLEH : PROF. DR. KH. NASARUDDIN UMAR, MA
SALAH satu puncak yang menjadi target para salik (spiritual traveler) adalah ‘maqam cinta’ (maqam mahabbah). Kekuatan cinta bisa mengubah buaya menjadi cicak atau sebaliknya. Kekuatan cinta (the power of love) bisa mengubah segala-galanya. Kekuatan cinta pada diri seseorang akan berimbas pada seluruh ruang dan waktu. Jika cinta sudah terpatri dalam seluruh jaringan badan seseorang, vibrasinya akan menghapus semua kebencian.
Sebagai manifestasinya dalam kehidupan, begitu bertemu dengan seseorang, ia tersenyum, sebagai ungkapan dan tanda rasa cinta. Adress cinta paling kuat, tentu adalah Allah subhanahu wata’ala. Bermesraan dengan-NYA adalah puncak dari segala puncak kenikmatan. Inilah yang disebut ‘Maqam Muhabbah‘ oleh seorang sufi perempuan yang terkenal dengan nama Rabi’ah al-Adawiyyah.
Cinta tidak bisa diterangkan, tetapi hanya bisa dirasakan. Terkadang sebuah rasa tidak ada kosakata yang tersedia untuk menggambarkan kedalamannya. Kosakata yang tersedia didominasi oleh kebutuhan fisik sehingga untuk mencari kata yang bisa memfasilitasi keinginan rohani tidak cukup.
Terminologi dan kosakata yang tersedia lebih banyak berkonotasi cinta kepada fisik materi, tetapi terlalu sedikit kosakata cinta secara spiritual. Mungkin itulah sebabnya mengapa Allah subhanahu wata’ala memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an karena kosakata spiritualnya lebih kaya. Kosakata dalam Al-Qur’an menurut ulama tafsir ada 14 kosakata, mulai dari cinta hamba sampai Illahi.
Bagi para sufi, cinta Allah SWT bersifat primer, sementara cinta hamba itu adalah sekunder. Primer itu juga inti, substansi. Yang sekunder itu tidak substansial. Pemilik cinta sesungguhnya adalah Allah subhana wata’ala. Hakikat cinta yang sesungguhnya adalah unconditional love (cinta tanpa syarat) atau kalangan psikolog menyebutnya the saint lover.
Cinta yang tanpa pamrih adalah cinta primer. Cinta seperti ini berbeda dengan cinta kita yang memiliki kepentingan. Ketika sebelum kawin, masya Allah, kita sampai kehabisan kata-kata melukiskan kebaikan pujian kita. Akan tetapi, sesudah kawin, kata-kata paling kasar pun tak jarang kita lontarkan.
Unconditional love pernah ditunjukkam Rasulullah Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam ketika dilempari batu sampai tumitnya berdarah-darah oleh orang Thaif. Rasul hanya tersenyum. “Aduh, umatku, seandainya engkau tahu visi misi yang kubawa, engkau pasti tidak akan melakukan ini,” demikian bisiknya.
Bahkan, ketika datang malaikat penjaga gunung Thaif menawarkan bantuan untuk membalas perbuatan orang Thaif itu, Nabi berucap : “Terima kasih, Allah lebih kuasa dari makhluk. Jangan diapa-apakan. Mereka hanya tidak tahu. Kelak kalau mereka sadar, mereka akan mencintai saya.”
Nabi Nuh alaihis salam pernah menyesal sejadi-jadinya mengapa ia pernah mendoakan umatnya binasa. Selama 950 tahun, ia berdakwah mengajak kaumnya ke jalan Allah subhana wata’ala. Tapi hanya segelintir yang mengikuti ajakannya. Yang lain ingkar sehingga Nabi Nuh alaihis salam berdoa kepada Allah SWT agar dikirimkan bencana kepada kaumnya yang ingkar janji itu.
Maka datanglah banjir besar yang menenggelamkan mereka, sedangkan Nabi Nuh AS dan para pengikutnya sudah mempersiapkan diri dengan membuat perahu. Ada sebuah ungkapan dari ahli hakekat : “Kalau cinta sudah meliputi, tak ada lagi ruang kebencian dalam diri seseorang. Sejelek apapun dan kasarnya orang lain, ia tak akan membalas dengan kejelekan. Banyak ulama besar kita sudah mencapai tingkatan itu”.
Imam Syafi’i pernah ‘dikerjai‘ oleh seseorang tukang jahit saat memesan pembuatan baju. Lengan kanan baju itu lebih besar/longgar dibanding lengan kirinya yang kecil dan sempit. Iman Syafi’i bukannya komplain dan marah kepada tukang jahit tersebut, malah berterima kasih. Imam Syafi’i menyebut : “Kebetulan saya suka menulis dan lengan yang lebih longgar ini memudahkan saya untuk menulis. Sebab, akan lebih leluasa bergerak.”
Sungguh indah hidup ini jika kita tidak ada lagi benci. Ini bukan berarti kita harus menahan atau menghilangkan marah. Yang kita lakukan adalah bagaimana menjadikan diri ini penuh cinta sehingga potensi kemarahan kita berkurang. Kita punya hak untuk marah dan itu harus diungkapkan dengan proforsional.
Jangan karena makanan kurang sedikit enak, lalu marah. Jika cinta sudah menguasai seluruh relung-relung tubuh, sekecil apapun sudah tidak ada lagi tempat untuk membenci siapa pun. Bahkan termasuk benci terhadap iblis. (***)