25.2 C
Jakarta
25 November 2024 - 07:53
PosBeritaKota.com
Syiar

Kajian ‘Hikmah’ di Masjid Istiqlal, H ABU HURAIRAH ABD SALAM LC MA Mengulas Soal Ulama

JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Pengertian dan pemahaman dasar mengenai ulama, jika ditilik dari segi bahasa bahwa kata ulama adalah bentuk kata pelaku plural (jama‘) dari kata alim (bentuk tunggal). Sedangkan arti dasarnya adalah “orang yang mengetahui” atau “orang berpengetahuan“. Jadi alim dan ulama, secara bahasa bermakna sama.

Dalam kajian jelang sholat Ashar, Kamis (28/7/2022) di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, H Abu Hurairah Abd Salam LC MA mencoba mengulasnya secara lebih mendalam dihadapan ratusan jamaah yang hadir. Menurutnya, seperti telah diketahui bersama bahwa alim adalah salah satu sifat Allah (asmaul-husna), yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia biasa ditambahi kata Maha: Maha Mengetahui.

Di dalam Al-Qur’an ada ayat yang dirumuskan dengan kalimat pertanyaan: “Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar [39]: 9);

اَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ اٰنَاۤءَ الَّيْلِ سَاجِدًا وَّقَاۤىِٕمًا يَّحْذَرُ الْاٰخِرَةَ وَيَرْجُوْا رَحْمَةَ رَبِّهٖۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ ࣖ

Artinya : “(Apakah orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dalam keadaan bersujud, berdiri, takut pada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?” Katakanlah (Nabi Muhammad),Apakah sama orang-orang yang mengetahui (hak-hak Allah) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (hak-hak Allah)?” Sesungguhnya hanya ululalbab (orang yang berakal sehat) yang dapat menerima pelajaran.”. (QS. Az-Zumar [39]: 9)

Dipaparkan H Abu Hurairah bahwa di dalam bahasa Arab modern, kata alim atau ulama lebih sering digunakan dengan konotasi scientist (ilmuwan), yakni orang yang pakar dalam ilmu-ilmu eksak seperti fisika, kimia, nuklir dan sejenisnya. Bahkan ada kata bahasa Arab yang biasa disematkan kepada seseorang yang benar-benar pakar dalam bidang spesialisasinya, yaitu ‘allamah, yang bermakna orang yang sangat matang dalam ilmu spesialisasinya.

Tetapi, di dalam bahasa Indonesia, alim dan ulama sering digunakan dengan nuansa perbedaan. Kata alim (bentuk tunggal) lebih dimaknai orang yang shaleh atau taat beragama. Padahal, dalam bahasa Arab, kata alim tak pernah dimaknai taat (kecuali kalau diasumsikan bahwa setiap alim/ulama pasti taat, meski kenyataannya tidak demikian).

Sementara kata ulama (yang aslinya bentuk jama’/plural) lebih sering dimaknai tunggal, lalu disematkan kepada seseorang, yang dianggap memahami ilmu-ilmu keagamaan. Nuansa perbedaan makna ini (antara alim dan ulama), tidak ada dalam bahasa Arab. Dalam kajian-kajian pergerakan, ada ungkapan yang mengatakan alim (orang berilmu) yang amil (mengamalkan). Sebuah ungkapan yang menyindir bahwa banyak orang berilmu namun tidak mengamalkan ilmunya. Artinya, tidak semua ulama taat menjalankan seluruh tuntunan agama (ulama kan manusia juga).

“Namun ketidaktaatan dalam mengamalkan ilmu agama tidak serta merta menggugurkan gelar keulamaan. Mungkin hanya akan kurang berkah saja. Atau, ulama itu akan kehilangan marwahnya di mata umat. Dan, itulah hukuman sosial paling berat bagi seorang ulama,” paparnya, lagi.

Hanya memang, menurut dia, ada ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa hanya ulamalah yang takut kepada Allah subhanahu wata’ala. (QS. Fathir [35]: 28),

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

Artinya: “(Demikian pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.635) Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir [35]: 28)

“Ayat ini diawali dangan kata innama yang mengandung arti pembatasan yang sangat ketat. Artinya, ketaatan maksimal dalam beragama hanya mungkin direalisasikan dengan ilmu. Dan boleh juga diartikan, jika ada ulama yang tidak taat, berarti ilmunya hanya bersifat teknis, tidak dalam bentuk pendalaman spiritual. Wallahu álamu bishawwab,” ucap H Abu Hurariah, menutup kajiannya. ■ RED/AGUS SANTOSA

Related posts

Banyak Peristiwa Besar Dialami Para Nabi, HARI ‘ASYURA 10 MUHARRAM Jadi Momentum Penting Kebangkitan Islam

Redaksi Posberitakota

Bicara Soal Keberadaan Masjid, USTADZ AHMAD RIFA’I Ingatkan Jangan Dijadikan Sebagai Ajang Bisnis

Redaksi Posberitakota

1000 Undangan Hadir, HM IDRIS LAENA Gelar Acara Buka Puasa

Redaksi Posberitakota

Leave a Comment

Beranda
Terkini
Trending
Kontak
Tentang