JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Hari lahir Pak Hoegeng. Hari ini, 14 Oktober 1921, adalah hari kelahiran tokoh hebat: Hoegeng Iman Santoso, Kapolri ke-5, sosok yang menjadi patron – suri tauladan- kejujuran tidak saja bagi Kepolisian tapi juga kita. Kokoh pada pendirian dan jujur. Adalah dua hal yang tak bisa ditawar pada pria kelahiran Pekalongan ini.
Beliau adalah lulusan angkatan pertama, semua 15 orang, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Saat pelantikan namanya bikin bingung Presiden Soekarno:
“Soegeng?”
“Hoegeng, Pak”
Nama yang ‘aneh’, bukan nama Jawa. Secara seloroh Soekarno pun minta namanya diganti, “pakai saja dari nama pewayangan”
Hoegeng sebenarnya memiliki empat nama: Abdul Latif (pemberian teman ayah seorang peramal Arab), Hoegeng Iman Santoso (pemberian ayah), Hoegeng Iman Soedjono (pemberian Eyang Putri), dan Hoegeng Iman Waskito (pemberian nenek buyut, ibu dari Eyang Putri).
Dia memilih nama pemberian ayahnya: Hoegeng Iman Santoso. Namun, dia lebih suka memakai nama Hoegeng saja.
“Rasanya (Hoegeng) sebuah nama yang meriah sekaligus lucu mengandung ironi,” kata Hoegeng. “Sebab dalam kenyataannya saya tak pernah lagi gemuk dan barang kali -juga- tak ingin.
Ternyata, nama Hoegeng ada asal usulnya. Waktu kecil dia memiliki tubuh sangat gemuk. Maka, dia dijuluki si “bugel” (gemuk) seperti ubi. Namun, dalam panggilan sehari-hari berubah: dari “bugel” menjadi “bugeng” lalu “hugeng” (ejaan lamanya hoegeng).
Rentang tugasnya sebagai polisi dimulai 1944, setelah sempat mengenyam pendidikan militer ala Jepang. Saat diangkat jadi Pangak (Panglima Angkatan Kepolisian), ia mengusulkan pada Presiden Soeharto agar nana jabatan itu diubah. Kepres no: 52, tahun 1969, mengubah Pangak jadi Kapolri.
Soal kejujuran ayah 3 anak ini tak bisa ditawar. Saat tugas di Medan ia mengembalikan semua perabot rumah tangga, mobil dan bahkan sepeda untuk anaknya dari oknum yang tidak ia kenal. Padahal, kalau mau, semua pemberian ini tak akan terlacak.
Sosoknya mengingatkan pada sosok Mohammad Hatta, Wakil Presiden Pertama, yang merinci detil semua pengeluaran perjalanan dinas saat tugas ke New York, bahkan minum kopi pun ia catat!
Hoegeng juga tak ingin uang negara terpakai untuk keperluan pribadi. Juga semua pemberian atau hadiah dari luar harus dikembalikan sekecil apapun! Tak peduli si anak menangis ketika esok hari ia mencari sepeda barunya. Lurus ya tetap lurus.
Apa boleh buat, sikap inilah yang membuat ia terdepak. Saat marak penyelundupan mobil di awal 70-an, ia bersenggolan dengan bisnis haram lingkaran Istana. Sebanyak 3.000 mobil berhasil diselundupkan masuk tanpa bea sepeserpun dan Hoegeng hanya sempat mengamankan beberapa ratus sebelum akhirnya jabatannya malah lepas. Dan, Roby Tjahyadi pun melenggang.
Ia menolak tawaran jadi Dubes oleh Soeharto, karena Hoegeng tahu itu jabatan buangan, khas dimasa itu. Di masa pensiun, ia lebih senang tampil secara berkala dalam acara The Hawaiian Seniors di TVRI.
Hoegeng sempat menandatangani Petisi 50, yang berisi 50 orang tokoh berintegritas yang mengkritisi pemerintahan Soeharto. Langkah Petisi 50 sangat elegan tidak gaduh seperti sekarang. Orang jadi bersimpati, meski tahu upaya ini akan kandas.
Lahir di tanggal 14, wafat di tanggal yang juga sama: 14 Juli 2004. Saat wafat pun Hoegeng tetap lurus dan kokoh, karena ia menyiapkan wasiat yang mengagetkan. Sebagai peraih Tanda Kehormatan Bintang Gerilya (Pejuang Kemerdekaan) total ada 15 medali penghargaan.
Sebenarnya, ia berhak dimakan di Taman Makam Pahlawan (TMP) di Kalibata, namun Hoegeng menolak. Sebab, ia tahu di makam itu berbaring koruptor Pertamina, H Ahmad Thahir. Hoegeng malah lebih memilih dimakamkan di TPU Giri Tama, Kabupaten Bogor.
Pada sosok Hoegeng, kita banyak belajar, kejujuran itu bak berlian: selalu abadi. Hoegeng tak memiliki harta milyaran bahkan trilyunan seperti nama para koruptor yang bersliweran tak terhitung! Tapi, coba perhatikan, namanya tetap dikenang selalu harum sepanjang masa. Itu tak bisa dinilai oleh uang atau harta seberapa banyakpun! ■ RED/GUNAWAN WIBISONO/GOES