Menuai Polemik, SGY Minta Kepgub Anies Soal Pejenamaan RSUD Jadi Rumah Sehat Segera Dibatalkan

JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Tak bisa dipungkiri bahwa perubahan istilah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) menjadi Rumah Sehat untuk Jakarta yang digagas Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menuai polemik di masyarakat. Apalagi, usulan itu diatur dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta Nomor 265 Tahun 2022 Tentang Pejenamaan Rumah Sakit Daerah Milik Pemerintah Provinsi Daerah Ibukota Jakarta. Sedangkan Kepgub tersebut diterbitkan pada 16 Juni 2022 lalu.

Oleh karenanya, Pengamat Kebijakan Publik Sugiyanto (SGY) meminta agar Kepgub Anies tentang pejenamaan tersebut segera dibatalkan. Mengingat bahwa aturan tersebut membuat arti rumah sakit sebagaimana telah diatur dalam undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit juga menjadi bias.

“Agar tidak menimbulkan salah persepsi berkepanjangan dan polemik, Gubernur DKI Anies Baswedan sebaiknya perlu segera membatalkan atau mencabut Kepgub Nomor 265 Tahun 2022,” tutur SGY dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (11/8/2022).

Menurut dia, setidaknya ada lima alasan yang mendasari Kepgub tersebut, sangat perlu untuk segera dicabut. Alasan pertama, penjenamaan rumah sakit dengan kalimat ‘Rumah Sehat Untuk Jakarta’ tidak tepat diletakan. Baik itu pada posisi sesudah atau sebelum frasa rumah sakit. Sehingga arti dari pengabungan kalimat ‘Rumah Sehat untuk Jakarta’ dan ‘Rumah Sakit Umum Daerah’ menjadi rancu.

“Untuk alasan kedua, yakni bisa membingungkan masyarakat. Karena makna dari kalimat Rumah Sehat untuk Jakarta dengan frasa rumah sakit, sangat berbeda dan bahkkan berlawanan arti. Pada Kalimat Rumah Sehat Untuk Jakarta bermakna jamak, seperti rumah untuk tujuan citra positif atau rumah untuk orang-orang yang sehat saja dan atau arti lainnya,” katanya.

Masih dikatakan SGY, arti rumah sakit yang merujuk pada UU No. 44/2009 tentang rumah sakit, yaitu institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. “Makanya, hal ini jelas membingungkan msyarakat,” tuturnta, lagi.

Sedangkan untuk alasan ketiga, sebut SGY, tugas rumah sakit sebagaimana disebutkan dalam UU No 44/2009 tentang rumah sakit pada Pasal 4 selama ini telah berjalan, yaitu memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. S?Tapi yang dimaksud pelayanan paripurna sebagaimanan disebutkan pada Pasal 1 ayat (3) UU tersebut adalah pelayanan kesehatan yang meliputi meliputi peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif).

“Jelas, kebijakan pejenamaan rumah sakit daerah di provinsi DKI Jakarta untuk pencitraan, yakni sebagai peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan kesehatan (preventif) menjadi tidak tepat. Alasan lain yang mengkait-kaitkan frasa rumah sakit seolah-olah mempunyai makna negatif terhadap pasien, juga tidak selalu benar,” urainya.

Selanjutnya untuk alasan keempat, tambaylh SGY, selama ini pelayanan peningkatan kesehatan (promotif) dan pelayanan kesehatan (preventif) juga sudah dilakukan di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta melalui keberadaan Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas. Pelayanan Kesehatan di Puskesmas juga bersifat menyeluruh (Comprehensive Health Care Servise) dengan prioritas yang harus dikembangkan dan diarahkan ke bentuk pelayanan kesehatan dasar (basic health care services). Bentuk pelayanan ini lebih mengedepankan upaya promosi dan pencegahan (public health service).

“Artinya apa? Pemprov DKI Jakarta tak perlu lagi melakukan pejenamaan atau pencitraan merek rumah sehat lantaran segala hal yang terkait dengan pencitraan tersebut selama ini telah dijalankan oleh Puskesmas,” urai dia.

Terakhir soal alasan kelima, kata SGY lebih lanjut, tentang penyebutan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) menjadi ‘Rumah Sehat untuk Jakarta’ sebagai motto yang disampaikan oleh Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Khalimah adalah hal yang dapat dianggap keliru. Kenapa? Lantaran pejenamaan dengan motto memiliki arti berbeda.

“Pejenamaan berasal dari kata jenama yang berarti, merek atau jenis. Penjenamaan dapat juga berarti pencitraan merek. Dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah branding. Sedangkan kata motto atau juga semboyan adalah kalimat, frasa, atau kata sebagai semboyan atau pedoman yang menggambarkan motivasi, semangat dan tujuan dari suatu organisasi. Sehingga kalimat Rumah Sehat untuk Jakarta tidak tepat disebut sebagai motto,” ujarnya.

Maka dari s itu, SGY menekankan agar kebijakan itu dievaluasi kembali. Kemudian menyarankan, agar jenama atau Branding rumah sakit itu dapat diganti dengan motto lain seperti, Jakarta melayani Pasien dengan Paripurna atau Sehat Masyarakat Jakarta, Maju Kotanya, dan atau dengan motto-motto lainnya.

SGY juga mendorong DPR-RI dan DPRD DKI Jakarta untuk segera menyikapi persoalan tersebut. “Dalam hal Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan enggan untuk melakukan pembatalan atau pencabutan atas Kepgub pejenamaan tersebut, maka DPR-RI dan DPRD DKI Jakarta dapat bersikap tegas, yakni mempertanyakan tentang dasar aturan atas kebijakan pejenamaan ini baik pada Kemenkes dan atau pada Pemprov DKI Jakakarta,” tutupnya. ■ RED/GOES

Related posts

Dihadiri Cagub Ridwan Kamil, ADI KURNIA Bersama AKSI Berbagi 5000 Sembako Murah di Condet Jaktim

Bukan Hanya dari Tokoh Masyarakat Jakarta, PRAMONO – BANG DOEL Kantongi ‘Peluru Emas’ Dukungan Ulama & Habaib

Arahan dari Kapolres Jakpus, PENYULUHAN ANTI TAWURAN & Kenakalan Remaja di SMPN 10 Jakarta