28.6 C
Jakarta
25 April 2024 - 08:09
PosBeritaKota.com
Entertainment

Oh Riwayatmu Kini, KOMUNITAS ‘LUDRUK’ JAKARTA Beri Spirit bagi Patriotik Budaya

JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Ini fakta! Bahwa crossdressing atau transvestisme kebanyakan dilakukan pria yang berdandan ala wanita. Bahkan, praktik berpakaian dan berperilaku seperti ini sering kita lihat dalam seni pertunjukan tradisionil Ludruk, kondang sebagai pertunjukan sandiwara asal Jawa Timur.

Sedangkan jika merujuk dari sejumlah literatur memang yang menjadi ciri khas kesenian tradisional Ludruk adalah karena semua senimannya beranggotakan pria. Itulah sebabnya kelompok kesenian Ludruk sejak awal berdiri beranggotakan seniman yang seluruhnya pria. Maka berbagai peran wanita dalam sandiwara Ludruk selalu diperankan oleh seniman pria.

Namun dengan seiring perjalanan waktu, Ludruk terancam punah. Apabila masih bertahan kondisinya memprihatinkan. Di Surabaya, Ludruk tinggal beberapa puluh pemain saja. Diantaranya mereka yang masih bertahan di bawah grup “Irama BudayaSurabaya.

Malah sebagian dari kiprah atau eksistensi para pejuangan seni budaya tersebut, masih bisa kita saksikan pementasannya di Gedung Ludruk Irama Budaya yang ada di Jalan Kusuma Bangsa, Ketabang, Tambaksari, Kota Surabaya.

Merupakan fakta sejarah bagaimana Ludruk sebagai karya kesenian tradisi lokal jenius secara efektif ikut membangun anak bangsa dalam memberi spirit patriotik budaya.

Nah, spirit inilah yang dipersembahkan Komunitas Ludruk Jakarta melalui pementasan ludruk dengan lakon “Sarip Tambah Soro” yang digelar di Anjungan Jawa Timur Taman Mini Indonesia (TMII) Jakarta, Sabtu (25/02/2023) pekan lalu.

Boleh jadi tak ada kaum transvestisme yang menjadi ciri khas kesenian tradisional Ludruk tampil di pergelaran ini. Sebaliknya para wanita sebenarnya ikut memainkan peran penting dalam pertunjukan ini.

Karena itulah ksenian Ludruk memang punya daya tarik tersendiri. Pun demikian, Ludruk menjadi kesenian rakyat paling populer di Jawa Timur. Yakni dengan keunikannya, kelucuan penokohnya, menghibur dan enerjik. Memberi spirit survivalitas, futuristik dan tentu saja dengan kritik sosial bertema kekinian.

“Sedangkan untuk tampilnya Komunitas Ludruk Jakarta di Anjungan Jawa Timur, adalah upaya agar kesenian ini lebih dikenal juga diminati,” ucap Soang Iswandi Soedjiman, sutradara dari pergelaran Ludruk tersebut kepada POSBERITAKOTA, Kamis (2/3/2023).

Sementara itu bahwa kesenian Ludruk, menurur Iswandi, lahir sebagai sebuah kesenian anti kemapanan (kritik sosial) dalam struktur masyarakat Jawa Timur. Pada masanya masyarakat menemukan bentuk sindiran (pasemon) sebagai pintu artikulasi yang populer dalam hal kritik dan kontrol kebijakan penguasa saat itu.

Meskipun tidak dapat merubah berbagai praktik skandal dalam kekuasaan secara menyeluruh, namun Ludruk dianggap layak sebagai representasi kebudayaan dalam sosiologi masyarakat yang tertindas.

Oleh karenanya, imbuh Iswandi, masyarakat sering merasa segala emosi dan dirinya tercermin dalam ludruk. Kesenian ini seakan menjadi tontonan wajib untuk mengisi ruang refleksi dan kontemplasi diri.

“Selain itu sekaligus sebagai media partisipasi publik dalam melakukan gerakan protes dan kritik sosial terhadap penguasa dengan etika dan estetika yang terukur,” urai dia lagi.

Termasuk lakon ‘Sarip Tambah Soro’ ini, diutarakan Iswandi, ceritanya sebagai gerakan protes dan kritik sosial yang tidak ada hubungannya dengan cerita ‘Sarip Tambak Oso’.

“Jadi, cerita ini tidak ada hubungannya dengan cerita Sarip Tambak Oso. Ceritanya sederhana. Menceritakan orang yang dipercaya menyalurkan Sembako tapi dipakai sendiri. Itu namanya sudah bagian dari nalisir angger anggere ngurip (melanggar tata kehidupan),” jelas Iswandi.

Seni pertunjukan ludruk memiliki berbagai elemen penting dan spesifik. Antara lain, tari ’Remo,’ tembang atau ’Kidungan,’ ‘Dagelan’, dan ‘Lakon’ atau cerita. Ketiga elemen tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari pementasan Ludruk.

Tarian ’Remo’ yang menjadi elemen kesenian Ludruk adalah tarian khas Jawa Timur yang dapat diartikan sebagai tari kepahlawanan. Sedangkan ’Kidung’ merupakan nyanyian berbentuk puisi atau pantun, yang diiringi gamelan khas Jawa Timuran. ’Kidung’ secara khas juga kerap disebut ’Parikan’.

Kidung’ dan atau ’Parikan’ serta ’Remo’ kerap dibawakan oleh penari sekaligus penyanyi, baik laki-laki maupun perempuan. Namun ada juga kidung ’Parikan,’ yang dibawakan oleh seorang ’dagelan’ (pelawak). Sementara lakon atau ceritanya banyak bersumber dari legenda, sejarah, dan cerita-cerita keseharian di masyarakat.

Pada pergelaran Komunitas Ludruk Jakarta dibuka dengan acara fashion show yang menampilkan berbagai mode kebaya. Dilanjutkan tari Remo yang dibawakan oleh penari dan pemain wayang orang, Eny Sulistyowati SPd SE MM. Disusul kemudian persembahan dagelan bersama Tatok Ngelantur, Isak Marshanda dan Umroh Gusi.

Para pemain ludruk dalam lakon “Sarip Tambah Soro” ini antara lain; Joko Dewo (Sarip), Sus Ellyn (Istri Sarip), Ninik Canda (Ibu Sarip) dan Eny Sulistyowati (Polisi Wanita). Untuk pemain lainnya, Armen Effendy, Hendri, cak Batin, Dewi Katayama, Oki Pradana, Susan Hawke, Linda, Shanty GSW, Nia Rahmania, Adi Yahya, Slamet Koplak, Cak Widji, Wahyu Ceng Blonk dan Lucy Daiva.

Pentas Ludruk “Sarip Tambah Soro” disutradarai Soang Iswandi Soedjiman. Ceritanya ditulis Joko Dewo yang juga bertindak sebagai Asisten Sutradara. Pengiring Gamelan Catur Yudianto, Penata Artistik Basukiyono serta Tata Rias dan Busana adalah Yudi.

Menurut Eny Sulistyowati, Ludruk turut menjadi korban perubahan selera berkesenian dan selera publik terhadap jenis tontonan dan hiburan. Oleh karena itu, kata dia, perkembangan ludruk saat ini perlu perhatian bagi semua pihak.

“Kesenian tradisi ini patut kita sengkuyung (gotong royong) bersama. Tiga pilar, antara Pemerintah, masyarakat dan pelaku seni harus berkolaborasi. Ibaratnya ludruk yang sudah ‘mengkis-mengkis’ (sesak nafas) kita angkat kembali. Cari solusi supaya bisa lebih diminati masyarakat.” ujar produser Tri Ardhika Production yang berperan sebagai Polwan dalam sandiwara ini.

Dalam situasi seperti itu, kata Eny, tidak ada pilihan lain selain melakukan kolaborasi dengan nilai-nilai dan simbol-simbol modernitas serta menggunakan media-media yang dekat dengan gaya hidup modern.

“Meskipun begitu tetap tidak meninggalkan apa yang sudah menjadi pakem (acuan) kesenian ludruk,” ujar seniman serba bisa yang kini tengah menyiapkan World Dance Day (WDD) yang diselenggarakan Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) tersebut. ■ RED/AGUS SANTOSA

Related posts

Memasuki 45 Tahun Berkarya, DIAN PIESESHA Bikin Konser ‘Bunga – Bunga Rindu’ Awal 2024 di Jakarta

Redaksi Posberitakota

Sebulan Harus Fokus Ibadah, MACHICHA MOCHTAR Ngaku Demi Meningkatkan Iman & Taqwa

Redaksi Posberitakota

SALAH SATUNYA KELUARGA ARTIS KRISDAYANTI, RORO RACHMAWATI LAYANI PERMINTAAN BABY SITTER & NANNY KALANGAN JET SET

Redaksi Posberitakota

Leave a Comment

Beranda
Terkini
Trending
Kontak
Tentang