Jelang Pilpres 2024, ANIES – Jokowi & Prabowo dalam Narasi Pengkhianatan

OLEH : YARIFAI MAPPEATY

PADA Debat Capres pertama, Prabowo tampak cukup percaya diri, bahkan terkesan superior. Superioritasnya itu ditunjukkan, terutama terhadap Anies. Ia mencoba menjatuhkan mental Anies dengan menyinggung Pilgub DKI Jakarta 2017. Cara Prabowo itu mengingatkan kita pada jurus Jokowi dahulu saat berhadapan denganya di Debat Capres 2014.

Tapi Prabowo salah kaprah. Sebab Anies bukan sosok kaleng-kaleng yang bermental tempe. Malah, di luar dugaan, Anies memberi tanggapan balik tak kalah menyentak, sampai mengguncang suasana kebatinan Prabowo yang tampak hanya senyum-senyum kecut alias dongkol.

Rupanya, kedongkolan Prabowo itu dibawa keluar dan ditumpahkan di luar forum debat. Selang dua atau tiga hari kemudian, saat berpidato di Rakernas Partai Gerindra di Jakarta, Prabowo memaki Anies, “ndasmu etik.” Karena tekanan publik, kubu Prabowo pun berupaya mengklarifikasi, tapi publik lebih percaya pada konteks makian itu diucapkan.

Ada apa antara Prabowo dan Anies di Pilgub DKI Jakarta 2017? Kubu Prabowo mengklaim bahwa sosok yang paling berjasa menjadikan Anies Gubernur DKI Jakarta adalah Prabowo. Namun klaim itu kerap diumbar berlebihan, seolah tak menganggap peran PKS. Padahal tanpa PKS, maka “jasa besarPrabowo yang selalu disebut-sebut itu, dipastikan tak pernah ada.

Di lain pihak, Anies tak sekalipun pernah menampik dan lebih memilih diam. Kendati sebenarnya, jika dihitung-hitung, Anies telah membayarnya secara kontan. Pada Pileg 2019, faktor Anies effect menambah perolehan kursi Partai Gerindra, baik di DPRD DKI Jakarta maupun di DPR RI dari Dapil asal Jakarta.

Juga, demi menghormati Prabowo, Anies memutuskan menolak semua tawaran untuk menjadi Capres pada Pilpres 2019. Mengapa? Karena Anies sangat tahu diri dan tidak mau melawan Prabowo sebagai sesama kawan oposisi. Bandingkan dengan Jokowi pada Pilpres 2014 yang berhadap-hadapan dengan Prabowo secara head to head.

Padahal jasa Prabowo terhadap Jokowi pada Pilgub DKI Jakarta 2012, jauh lebih besar. Menurut cerita Hashim, adik Prabowo, Jokowi tidak hanya dikasih partai, tapi juga dikasih duit buat biaya kampanye. Bahkan baju kotak-kotak Jokowi yang terkenal itu, konon dipilihkan oleh Prabowo.

Apakah Prabowo memperlakukan Anies dengan cara yang sama? Tampaknya tidak. Sebab realitasnya, Anies terpaksa cari uang sendiri untuk membiayai kampanyenya. Terbukti, belakangan terungkap kalau Anies pernah menandatangani surat utang sebanyak tiga kali dengan total nilai Rp 92 M.

Pada konteks itu, tidakkah sebenarnya Anies lebih faham soal membalas budi dan jauh lebih beretika? Jika kemudian Anies berkompetisi dengan Prabowo pada Pilpres 2024 lantas dicap pengkhianat, maka, beranikah juga kubu Prabowo mencap Jokowi pengkhianat?

Tidak hanya itu. 20 tahun lebih Jokowi diemong oleh PDIP. Dua periode Walikota Solo. Setengah periode Gubernur DKI Jakarta. Dua periode menjadi Presiden Republik Indonesia. Belum lagi Gibran, putranya, dan Bobby Nasution, mantunya. Kurang apa? Lalu, pada Pilpres 2024, Jokowi meninggalkan PDIP. Sekali lagi, apa berani menyebut Jokowi pengkhianat?

Hitung-hitung soal jasa, jika hanya memberikan Gerindra sebagai kendaraan dan membentuk tim pemenangan, lalu menilai diri paling berjasa, maka, apa bedanya dengan PKS yang melakukan hal yang sama terhadap Anies?

Dengan kata lain, jasa Prabowo pada Anies pada Pilgub DKI Jakarta 2017, tak lebih besar dari pada jasa PKS. Padahal, yang mengambil paling banyak manfaat politik dari ekistensi Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta, adalah Partai Gerindra.

Pada Debat Capres kedua, performa Prabowo bukannya membaik, tapi malah makin buruk. Bicaranya cenderung ngawur dan tidak kontekstual. Malah, saat merasa kewalahan menghadapi debat, terhitung dua kali Prabowo “minta tolong” pada Ganjar. Tetapi bukannya menolong, Ganjar malah ikut-ikutan “ngegas” hingga Prabowo babak-belur dibuatnya.

Di luar sana, usai debat, Prabowo kembali memaki Anies dengan menyebut goblok. Selain itu, karena dianggap tidak tahu membalas budi, Anies lantas dianalogikan lebih rendah dari pada hewan piaraan. Analogi itu mengingatkan kita pada pepatah: “Bahkan seekor anjing pun tak akan pernah menggigit tuannya.”

Setali tiga uang dengan pendukungnya, yang juga ikut-ikutan memaki. Anies tidak hanya dicap “Malin Kundang”, tapi juga diteriaki bangsat. Bahkan lebih parah dari itu, sebuah akun TikTok terlihat menunjuk-nunjuk gambar Anies dan mengatainya babi anjing.

Tak pelak, narasi Anies pengkhianat kembali diumbar secara berlebihan sampai menyita perhatian publik. Oleh sebab itu, dalam konteks hubungan Anies dan Prabowo, perlu dilihat siapa sebenarnya mengkhianati siapa?

Mula-mula, Prabowo yang mengajak Anies bergabung dalam barisan oposisi dengan menawarkan Cagub DKI Jakarta. Bahwa ada komitmen di antara mereka, maka hal itu harus dilihat dalam perspektif komitmen sesama kawan oposisi. Sehingga, jika ada salah satu meninggalkan yang lain, maka komitmen itu gugur dengan sendirinya.

Apa yang terjadi kemudian? Ternyata, usai Pilpres 2019, Prabowo menyerah lalu bergabung dengan rezim Jokowi, seteru politiknya, meninggalkan barisan oposisinya. Benar kata Anies, bahwa tidak semua orang kuat bertahan menjadi oposisi. Pernyataan itulah yang membuat Prabowo terguncang saat debat pertama.

Semenjak itu, hubungan Prabowo dan Anies putus. Adapun jasa besar dan komitmen yang pernah ada di antara mereka, sudah tak relevan lagi dibicarakan. Seperti suami-isteri yang telah bercerai, maka tidak ada lagi yang tersisa untuk dipercakapkan.

Pada konteks ini, Anies boleh saja tidak menganggap Prabowo khianat, tetapi tidak bagi puluhan juta pengikut yang ditinggalkannya, termasuk Harun Alrasyid beserta 7 orang lainnya yang sampai meregang nyawa ditembus peluru, demi membela Prabowo.

Hayo, siapa yang berkhianat?! (***/goes)

(PENULIS adalah YARIFAI MAPPEATY, pemerhati dunia politik nasional, kini tinggal di Makassar)

Related posts

Rasanya Sulit Tembus 51 Persen, PILKADA JAKARTA 2024 Bakal Melalui Dua Putaran

Siapa Lebih Unggul di Pilkada Jakarta, DUEL STRATEGI Tim Sukses Prasetyo Edi Marsudi versus Ahmad Riza Patria

10 Tahun Era Jokowi, PERS NASIONAL Darurat Kelembagaan – Krisis Identitas & Expansi Bisnis Masif Kurang Etika