PosBeritaKota.com
Opini Syiar

Idhul Fitri 1445 H, PEMINTA & PEMBERI MAAF dalam Konteks Jatidiri Kemanusiaan

OLEH : AGUS SANTOSA

MEMAKNAI datangnya hari kemenangan ‘Idhul Fitri‘ tentu tak sebatas diri kita yang telah rampung melaksanakan kewajiban berpuasa selama sebulan penuh sesuai perintah agama (Islam). Tapi, lebih dari itu yakni mampu menahan segala hawa nafsu, agar kelak puasanya lebih afdol dan dapat menambah kualitas keimanan dan ketaqwaan kita dalam perspektif ibadah itu sendiri.

Seperti diketahui bahwa dalam menjalani ibadah puasa yang lebih utama adalah ‘kemampuan‘ kita secara fisik dan non fisik untuk menahan rasa ‘haus‘ dan ‘lapar‘. Karena hampir dalam hitungan 14 jam lamanya, sejak waktu Imsak jelang sholat Shubuh hingga matahari terbenam dan masuk atau tibanya, waktu beduq Mahgrib – diri kita tak boleh bersentuhan dengan asupan bentuk makanan maupun minuman.

Apakah cukup dengan itu saja? Tentu tidak! Kita sebagai jatidiri yang tengah berpuasa, juga tengah digembleng dalam hal jiwa dan bathin. Bagaimana agar tidak membiarkan kalbu kita mengumbar atau menyimpan amarah, dendam dan bahkan benci dalam konteks jatidiri kemanusiaan kita.

Sebab, belum tentu orang yang dikenal sholeh (taat agama), justru kerapkali tanpa sadar malah sulit menghilangkan atau menghindari rasa amarah atau benci pada orang lain. Padahal yang menjadi penyebab kedua hal tersebut di atas, belum tentu bersentuhan langsung dengan dirinya. Jadi, hanya faktor subjektivitas, karena lingkungan atau ada sosok terdekatnya pernah diingatkan atau dikoreksi (kritik-red).

Sementara sebelum kita berempati alias pro terhadap orang terdekat kita (korban kritik), seyogyanya perlu memahami terlebih dulu, apa substansi persoalannya. Nah, di situlah peran jiwa dan bathin, supaya tidak terjebak dengan hal-hal yang bertolak belakang. Sejatinya, melihat kesalahan atau kebenaran orang lain, juga dibutuhkan penalaran yang perlu diperkuat oleh dasar-dasar keilmuan maupun wawasan agama yang dipunyai oleh pribadi yang bersangkutan.

Hal itulah yang kandang jarang menjadi perhatian dalam jatidiri kita. Jangan juga karena sudah didasari basic agama bagus, tapi buruk dalam sosialita hubungan per individu. Jika bisa menghindarinya, niscaya perbuatan dari badah puasa yang kita jalani, bakal menuju ketahapan jauh ebih sempurna.

Penulis mencoba melihat dengan kacamata psikologi dan sosiologi kemasyarakatan, kerapkali melihat pribadi atau personal orang yang justru berbanding terbalik. Maksudnya, secara agamis memiliki pribadi yang baik, tapi secara hablum min nanas (hubungan antar manusia) malah berbanding terbalik alias mengecewakan.

Jika konteks tersebut dikorelasikan dengan bagaimana kita beribadah di sepanjang bulan suci Ramadhan yang berujung pada hari kemenangan (Idhul Fitri), dapat serta merta meraih sesuatu yang nihil. Kualitas agamanya tinggi, mampu membaca Al-Qur’an, tapi memaknai arti atau tafsirannya – justru jauh panggang dari api.

Sebagai penutup pembahasan atau pemikiran konstruktif terhadap makna Idhul Fitri 1445 Hijriyah yang baru saja kita lalui – perbuatan ‘Peminta Maaf‘ atau ‘Pemberi Maaf‘ adalah memiliki kesetaraan jatidiri dalam konteks kemanusiaan.

Dalam memandang kedua hal tersebut, yakni terhadap ‘Pemberi Maaf‘ dan ‘Peminta Maaf‘, mutlak keikhlasan dan keridhoannya adalah milik Allah SWT. Sebab, jangan menjustice – mencela atau membenci kepada orang-orang yang pernah mengingatkan (kritik-red) kita. Kemudian diri kita pun tanpa mau belajar berusaha (instopeksi diri), justru malah berpaling dari hakiki terhadap pentingnya akan arti silaturahmi itu sendiri.

Karena itu pula, penulis kurang sependapat, jika ada sosok yang dikultuskan sebagai orang yang paling tua di lingkungan, dicap paling benar dan paling bisa dalam segala hal apapun – sementara diri kita dibutakan oleh hal-hal yang sifatnya hakiki untuk melihatnya. Contoh jika ada orang yang dzalim, sedangkan dalam kasat mata dan bathin melakukan kekeliruan – sebagai Muslim tentu kita pun wajib menegur atau mengingatkannya.

Kata ‘Minal aidin wal faidin’Mohon Maaf Lahir dan Bathin – memang gampang diucapkan. Tapi, manakala secara fisik dan mata bathin ‘dibutakan‘ oleh jatidiri kemanusiaan – mudah-mudahan masih bisa ditolong agar tak masuk dalam golongan orang yang ‘bersahabat’ dengan kemudharatan atau iblis. (***)

(PENULIS adalah Wartawan yang juga aktif sebagai Pengurus Yayasan dan Jamaah Masjid Jami Al-Ikhlas 025 VGH Kebalen, Babelan dan kini tinggal di Bekasi)

Related posts

Kebangkitan Umat Secara Komunal, ESENSI HIJRAH Itu Perubahan

Redaksi Posberitakota

Nongol Lewat Duo VW, VELLINE PIKACHU Unggah Tembang Religi ‘Allah Maha Besar’ Malah Dinyinyirin Netizen

Redaksi Posberitakota

Bermuhasabah di Akhir 2022 & Awal Tahun 2023, KADES CIANGSANA BOGOR UDIN SAPUTRA SH Pilih Umroh ke Tanah Suci

Redaksi Posberitakota

Leave a Comment

Beranda
Terkini
Trending
Kontak
Tentang