Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, ANTARA WAHDAH Al – Wujud & Panteisme

OLEH : PROF DR KH NASARUDDIN UMAR MA

ALAM semesta sebagaimana didefinisikan oleh Ibn ‘Arabi adalah manifestasi (tajalli) dari Yang Maha Riil (al-Haqq). Dari al-Haqq inilah bermanifestasi alam semesta dengan seluruh isinya.

Pada hakikatnya alam semesta ini tidak lain adalah lokus manifestasi dan sekaligus cermin bagi Sang Maha Mutlak, Allah subhanahu wata’ala. Inilah yang sering disebut konsep Wahdah al-Wujud oleh para murid-muridnya, meskipun Ibn ‘Arabi sendiri tidak pernah secara gamblang memperkenalkan konsep Wahdah al-Wujud.

Konsep kesatuan wujud ini pulalah membuat sebagian orang menghubungkan dengan konsep panteisme, terutama yang digagas oleh Plotinus yang terkenal dengan konsep The One-nya.

Memang panteisme berpandangan bahwa Tuhan itu imanen dalam segala sesuatu dan manunggal dengannya sehingga segala sesuatu bersifat ilahi (divine). Keberadaan alam semesta merupakan kontinuitas substansi Tuhan.

Alam semesta dikatakan sebagai emanasi dari Tuhan, yang agak mirip dengan konsep tajalli Ibn ‘Arabi. Namun, jika didalami, sesungguhnya terdapat perbedaan yang signifikan antara konsep panteisme dan Wahdah al-Wujud, khususnya antara konsep emanasi Plotinus dan Tajalli Ibn ‘Arabi.

Dalam konsep Wahdah al-Wujud Ibn ‘Arabi memandang Tuhan sebagai wujud mutlak, tak terbatas, qadim, dan merupakan 0 dan asas segala sesuatu. Alam semesta hanya bayangan (tajalli) Allah subhanahu wata’ala.

Sedangkan dalam konsep Panteism Yang Maha.Esa (The One), khususnya menurut Plotinus ada di mana-mana dan menjadi sebab wujud. Alam adalah emanasi (al-faidh) dari Tuhan.

Bagi Ibn ‘Arabi, Yang Maha Esa ialah ada di mana-mana sebagai esensi universal yang berada diatas semua “di mana” dan “bagaimana”. Alam adalah tajalli (manifestasi) Tuhan, sebagaimana dipersepsikan oleh Panteism. Emanasi bersifat vertikal dan struktural.

Sedangkan tajalli bersifat horizontal karena segenap fenomena maknawi dan empiris muncul dan berubah sebagai manifestasi dari al-Haq. Konsep Wahdah al-Wujud Ibn ‘Arabi jauh lebih rumit daripada logika panteisme yang hanya secara linear menarik garis turunan alam semesta sebagai emanasi Tuhan.

Dalam menjelaskan konsep Wahdah al-Wujud, Ibn ‘Arabi pertama kali menjelaskan peran Hakikat Muhammad yang biasa juga disebut Nur Muhammad sebagai manifestasi pertama yang ditampakkan Tuhan, kemudian daripadanya memanifestasi seluruh alam semesta yang jumlahnya tak terbatas dalam ukuran manusia.

Hakikat Muhammad ini juga disebut sebagai akal pertama (al-‘aql al-awwal) atau “pena yang tinggi” (al-qalam al-a’la), atau “realitas universal” (al-haqiqah al-kulliyyah) yang menghimpun segenap realitas.

Menurut Ibn ‘Arabi, Hakikat Muhammad tidak dapat disifati dengan wujud (ada) maupun ‘adam (tiada). Tidak bisa juga disifati dengan baru (hawadits) atau abadi (qadim). Ia bisa disebut “ada” dalam arti hawadits dan ia bisa juga disebut qadim.

Ia disebut qadim jika dipandang sebagai ilmu Tuhan yang qadim. Ia dikatakan baharu karena memanifestasikan diri pada alam yang terbatas dan baharu. Pendapat Ibn ‘Arabi ini mirip dengan pendapat al-Hallaj yang memandang Hakikat Muhammad bersifat qadim dan menjadi sumber segala ilmu.

Dalam menjelaskan konsep Wahdah al-Wujud, Ibn ‘Arabi membagi objek pengetahuan dengan 3 kategori:

1) Wujud Muthlak, yang ada dengan sendirinya dan menjadi asal segala sesuatu.

2) Wujud Mumkin, yang keberadaannya tergantung Wujud Mutlak.

3) Wujud yang bukan eksis dan bukan pula noneksis, bukan baharu dan bukan qadim.

Dalam kategori ketiga ini, Nur Muhammad ditempatkan. Penjelasan seperti ini sama sekali tidak pernah disinggung di dalam pemikiran panteisme dan dengan demikian konsep panteisme tidak bisa diparalelkan dengan konsep Wahdah al-Wujud Ibn ‘Arabi. © [***/goes]

Related posts

Tak Sekadar Ritual Tahunan, KHUTBAH USTADZ SAEFUL AZIZ: Idhul Adha Teladan Ikhtiar & Tawakal Nabi Ibrahim bagi Keluarga

Khutbah di Masjid Istiqlal, DR H MUH YAHYA AGIL MM Bahas Soal Hikmah Ibadah Qurban Bagi Kaum Dhuafa

Program ‘Hikmah’ di Masjid Istiqlal Jakarta, KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA di Bulan Dzulhijah