JAKARTA [POSBERITAKOTA] □ Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar MA yang bertindak selaku khotib Sholat Jum’at dalam khutbahnya mengingatkan kita semua bahwa ada beberapa tantangan masa depan umat yang perlu dicermati dan disikapi dengan baik. Sebab, jika tidak, maka itu semua akan meningkat menjadi masalah yang amat mengancam kelangsungan masa depan umat.
“Sedangkan tantangan tersebut antara lain meliputi Radikal – Eksklusif, Liberal – Individual dan Fragmatisme – Hedonisme. Nah, dari ketiga hal di atas, sangat perlu untuk kita cermati dan sikapi dengan baik,” tutur KH. Nasaruddin Umar membuka khutbahnya dihadapan 60 ribuan jamaah yang memadati Masjid Istiqlal Jakarta, Jumat 20 Jumadil Akhir 1444 H/13 Januari 2023 M.
Dijabarkan bahwa Radikalisme setingkat dibawah terorisme dan sudah jelas menodai keluhuran ajaran Islam. Sedang Radikalisme itu sendiri diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau perubahan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Bahkan, kelompok radikal selalu berusaha untuk mengganti tatanan nilai yang hidup di dalam masyarakat, tentu dengan tatanan nilai yang diyakininya sebagai tatanan nilai merasa paling benar.
Sedangkan kaum Radikal ini bukan hanya bersumber dari latar belakang agama, tapi juga dari yang lain yaitu seperti kelompok separatisme. Yang berusaha untuk memisahkan diri dengan suatu negara yang sah, dimana memakai cara kekerasan dan berbagai ancaman. “Radikalisme politik bisa juga terjadi jika mereka kecewa dengan garis politik yang dilakukan oleh para penguasa karena tidak adil dan melalukan praktek kecurangan,” kata KH. Nasaruddin Umar.
Begitu pun Radikalisme politik bisa berlindung dibawah panji-panji demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM), kemudian melakukan pendhaliman (dzolim) terhadap kelompok lain yang dinilai tidak sejalan dengan mazhab politiknya. Termasuk Radikalisme pasar bebas. “Apapun bentuknya, Radikalisme tak sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia, Pancasila. Dan, tidak ada tempatnya di dalam ajaran Islam,” urainya melanjutkan khutbahnya.
Dalam Islam tidak dibenarkan seseorang menghalalkan segala cara di dalam mencapai tujuan. Jadi, sebagus apapun sebuah tujuan, tidak boleh menggunakan kekerasan. Kekerasan untuk tujuan apapun, kepada siapapun, tidak ada tempatnya dalam Islam.
Sebagaimana diingatkan dalam ayat yang artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam” (Q.S. al-Baqarah/2 : 256). Juga di Q.S. al-Baqarah/2 : 195) yang artinya : “Dan, janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
KH. Nasaruddin Umar menuturkan bahwa Liberasisme adalah suatu faham yang berusaha untuk memilih kebebasan berprilaku (try to keep a liberal attitude) dengan menonjolkan sikap fair-minded, open minded dan toleransi. Begitu besar toleransinya sehingga kebatilan dan kekufurannya pun ditoleransi. Paham Liberalisme sangat membahayakan kehidupan beragama dan berbangsa.
“Islam yang mengenal Tuhan sebagai sumber nilai-nilai kebenaran paling tinggi dan bangsa Indonesia yang menganut faham dan ideoligi Pancasila, tentu tidak sejalan dengan faham liberalisme di atas,” paparnya, lagi.
Bahkan, di dalam ayat lain ditegaskan yang artinya : “Kemudian, Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
Faham Liberalisme juga beririsan dengan faham Individualisme, yaitu sebagai sebuah faham yang menghendaki kekebasan berbuat dan menganut suatu kepercayaan bagi setiap orang (individual freedom). Faham ini lebih mementingkan hak perseorangan, ketimbang kepentingan masyarakat atau negara.
Sementara itu diuraikan KH. Nasaruddin Umar, Fragmatisme adalah sebuah aliran filsafat yang beranggapan bahwa nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan kewajaran kebenaran di dalam hidup ialah seberapa besar sesuatu itu memberi manfaat dan kegunaan dalam diri, keluarga atau kelompok.
“Sadar atau tidak, ada kecenderungan kuat di dalam masyarakat kita, mulai terkontaminasi pandangan hidup seperti ini. Apa jadinya masyarakat bangsa dan umat beragama yakni khususnya umat Islam, jika pandangan hidup fragmatisme ini terus menggejala di masyarakat? Bagaimana kita sebagai umat dan warga bangsa harus bersikap dan apa yang harus dilakukan guna mengantisipasi fenomena sosial umat mengglobal sedemikian pesat itu?” Begitu papar KH. Nasaruddin Umar panjang lebar, menutup khutbahnya ■ RED/AGUS SANTOSA