DEPOK (POSBERITAKOTA) □ Sosok perempuan bernama Nur Kurniati Aisyah Dewi atau yang lebih dikenal sebagai Nia Dinata adalah sutradara terkenal yang filmnya banyak melahirkan atau meraih penghargaan bergengsi. Baik itu di dalam maupun di luar negeri. Selama ini pun, ia banyak membuat film-film cerita dengan beragam jenis.
Mulai dari fiksi sejarah ‘Ca Bau Kan’, yang diangkat dari novel berjudul sama karya (alm) Remy Silado, hingga film bertema urban seperti ‘Arisan’. Satu saat di tahun 2019, Nia tergerak untuk mulai meneliti keberadaan Candi Muara Jambi di Sumatera. Hal itu setelah dirinys bertemu dengan Elisabeth D. Inandiak, sahabatnya.
“Saat di Jakarta tahun 2019. Dia bilang saya harus ke Muara Jambi. Saya bilang kenapa Muara Jambi? Ternyata itu suatu peninggalan yang luar biasa. Jadi, saya pikir kok orang luar negeri sudah tahu candi ini sangat berharga? Tetapi saya sendiri baru mendengar,” tutur Nia Dinata saat ditemui di kawasan Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Jabar, Sabtu (8/4/2023) kemarin.
Seperti diketahui, Elisabeth D. Inandiak adalah seorang wartawati, sastrawati sekaligus penerjemah berkebangsaan Prancis yang telah lama tinggal di Yogyakarta. Karya monumentalnya adalah penerjemahan ‘Serat Centhini‘ (karya sastra Jawa yang kental dengan perbincangan religius dan erotisme) ke dalam bahasa Prancis di bawah judul Les Chants de l’île à dormir debout – Le Livre de Centhini (terbit 2002), yang berhasil menjadikan dirinya sebagai penerima Prix littéraire de l’Asie (Penghargaan sastra Asia) pada tahun 2003 oleh Perhimpunan Sastrawan Berbahasa Prancis (Association des écrivains de langue française). Naskah ini juga diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Karena dorongan saahabatnya itulah, maka Nia langsung melakukan riset di sekitar Candi Maura Jambi. Beberapa pegiat kebudayaan, seperti Mukhtar Hadi alias Borju, Abdul Haviz alias Ahock dan beberapa pemuda lainnya, ditemuinya. Tidak hanya itu, ia juga menggali cerita dari perempuan yang sopir becak dan petani yang aktif di sekitar cagar budaya itu.
“Saya bertemu dengan orang-orang yang memiliki keingintahuan yang tinggi. Dan, sekarang mereka juga sudah punya anak dan harus membentuk generasi,” ungkap Nia.
Hasil riset Nia itu kemudian melahirkan ide untuk membuat sebuah film dokumenter berjudul ‘Muara Jambi Bertutur’. Film dokumenter tersebut berjumlah 8 episode yang masing-masing berdurasi 25 menit.
Candi Muara Jambi memang tak aneh jika membuat Nia Dinata terkagum-kagum. Pasalnya, Candi Muara Jambi adalah sebuah kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara dengan luas 3981 hektar. yang kemungkinan besar merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Pada Abad ke-7 hingga Abad ke-13, Candi Muara Jambi menjadi pusat pendidikan filsafat Buddha, sehingga orang-orang dari Nalanda, Tibet, Cina dan lainnya malah datang berbondong ke kawasan percandian tersebut.
Dipaparkan Nia bahwa film itu nanti tidak hanya mempublikasikan kebesaran peradaban Candi Muara 6 di masa lampau. Tetapi juga menceritakan eksistensi cagar budaya ini berdasarkan perspektif masyarakat sekitar. Hubungan harmonis antara masyarakat dan Candi Muara Jambi tentu terungkap dalam film itu.
“Cerita ini menggunakan perspektif dari orang-orang yang lahir dan tumbuh di Candi Muara Jambi,” kata perempuan kelahiran Jakarta, 4 Maret 1969 ini, lagi.
Selanjut Nia yang merupakan cucu pahlawan nasional Otto Iskandar Dinata, mengutarakan bahwa film ‘Muara Jambi Bertutur’ sedang memasuki bagian akhir proses editing. “Kalau nggak ada halangan atau kendala, rencana penayangannya setelah lebaran nanti.”
Film serial tersebut akan ditayangkan di Kanal Indonesiana TV. Meskipun Nia merasa ada sedikit hambatan, karena tak semua menyukai versi serial. “Kita juga siapkan versi panjangnya untuk di bioskop. Ini khusus bagi pecinta dokumenter Indonesia, karena ada yang tidak suka berbentuk serial,” ungkap isteri dari Constantine Papadimitriou, menutup pembicaraan. ■ RED/HANNOENG M. NUR/EDITOR : GOES