SUKABUMI (POSBERITAKOTA) □ Wilayah Kabupaten Sukabumi tak hanya dikenal dengan mitos ‘Nyi Roro Kidul’ karena memiliki objek wisata Laut Pantai Selatan (Pelabuhan Ratu-red) sejak masa lampau hingga sekarang. Bahkan sangat menjadi idola para wisatawan domestik maupun mancanegara.
Pada era 80-an sampai tahun 2000 pun, tak bisa dipungkiri kalau Sukabumi pernah imej menjadi ‘Hollywood‘-nya Indonesia, lantaran hampir puluhan produk film horor/mistik atau laga (action) diproduksi di wilayah bagian ujung Barat-Selatan provinsi Jawa Barat tersebut.
Sejatinya semua keunggulan itu bisa dijadikan sugesti (daya tarik-red) bagi orang luar untuk datang ke Sukabumi, jangan dilupakan atau kalau perlu di brandeed agar punya nilai wisata maupun secara ekonomis. Tentu saja termasuk beberapa peninggalan sejarah yang ada.
Salahsatunya adalah soal keberadaan ‘Jembatan Kuning’ atau ‘Jembatan Bagbagan‘ yang berada wilayah Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Terlebih lagi kawasan itu menjadi legendaris lantaran terdapat sebuah bangunan jembatan peninggalan kolonialisme Belanda pada tahun 1922 silam.
Jembatan tersebut memiliki cerita panjang tentang penderitaan rakyat Indonesia dan membentang di atas Sungai Cimandiri atau penghubung dari Desa Jayanti ke Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan. Dari literatur sejarah yang ada, pembangunan ‘Jembatan Kuning’ itu didirikan lantaran mobilisasi para pekerja rodi yang digagas oleh arsitektur asal Belanda.
Sayangnya, saat ini cuma jadi kenangan sebagai peninggalan sejarah yang teronggok tanpa fungsi. Bahkan tak lagi dijadikan jalur utama sebagai jembatan yang memiliki panjang kurang lebih 200 meter dengan lebar empat meter serta empat tiangnya yang kokoh dan terbenam ke dasar sungai, menjadi penyangga 110 ruas besi melengkung nan kokoh tersebut, membuktikan betapa kentalnya nilai sejarah yang terkandung didalamnya.
Sejumlah warga sekitar menyebut kalau jembatan tersebut dibangun hampir belasan tahun lamanya. Dibangun sejak 1922 hingga diresmikan pada tahun 1923. Penamaan jembatan sendiri, menurut cerita turun temurun, kemungkinan disadur dari cerita Ratu Wil Helmina, penguasa Belanda di zaman itu.
Namun seiring waktu, kontruksi ‘Jembatan Kuning atau Jembatan Bagbagan’, tergerus pelataran besi penyangga juga terlihat sudah mulai berkarat dan bukti sejarahnya sekarang hanya tersaji pada prasasti pahatan.
Cerita lain pun dituturkan Iman (45), warga Desa Jayanti. Menurutnya, sekitar 20 tahunan lalu di pinggiran Sungai Cimandiri dan di bawah ‘Jembatan Bagbagan’ saat senja dipenuhi warga mandi dan berenang.
“Dulu kan airnya jernih dan tenang. Kalau sore hari, ramai orang pada mandi. Sambil bawa ban bekas untuk berenang. Sejak air sungai surut, kini tak ada lagi pemandangan seperti itu,” kenang Imam lagi.
Setelah Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sukabumi membangun jembatan baru sebagai gantinya dan terletak bersebelahan dengan ‘Jembatan Kuning’ tersebut, perlahan mulai terlupakan dan terkesan dibiarkan begitu saja. Seharusnya patut dipertahankan sebagai ikon daerah Pelabuhan Ratu.
Sementara itu Ujang Sukaryat (60) selaku Sejarawan Sukabumi memaparkan bahwa ‘Jembatan Kuning/ Bagbagan’ merupakan benda cagar budaya peninggalan masa Kolonial Belanda. Sangat lekat dan tak bisa dipisahkan begitu saja dari masyarakat Kabupaten Sukabumi.
“Harus diakui bahwa penjajah Belanda saat hengkang dari bumi Sukabumi dulu, meninggalkan banyak sejarah. Dan, khusus bangunan Jembatan Kuning, sangat erat dengan kehidupan masyarakat di sini,” paparnya.
Ditambahkan Ujang lebih lanjut bahwa jembatan desain khas Eropa tersebut, justru tidak hanya di Sukabumi saja. Ada pula di Muara Enim Palembang dan Pulau Busang (Tebo), meski sudah runtuh saat di zaman pergerakan Revolusi Kemerdekaan berlangsung. ■ RED/ROY/GOES