DALAM KASUS APARTEMEN GRAND ESCHOL KARAWACI PT MAHAKARYA AGUNG PUTERA, H ONGGOWIJAYA SH : TIDAK ADA UNSUR MELAWAN HUKUM

TANGERANG (POSBERITAKOTA) – Persidangan kasus dugaan penipuan dengan terdakwa HM selaku mantan Direktur Utama PT. Mahakarya Agung Putera di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang telah mengungkap betapa mudahnya pengembang yang beritikad baik diseret ke meja hijau karena terlambat serah terima unit. Keterlambatan serah terima unit sebenarnya masuk dalam ranah hukum perdata apalagi hak dan kewajiban para pihak telah diatur dalam PPJB.

Selain hal di atas, ketidakmengertian oknum penyidik terhadap pokok permasalahan di luar KUHP dan disertai penggiringan opini oleh oknum konsumen yang mencoba mencari keuntungan dalam situasi carut marut keterlambatan serah terima semakin membuat permasalahan pembangunan sulit diselesaikan pada saat itu.

Dalam kasus apartemen Grand Eschol ini telah terjadi ketidakmengertian penyidik dan JPU terhadap hukum di luar KUHP. Bayangkan, JPU selama dalam persidangan berdasarkan berkas perkara yang disusun penyidik selalu bertanya ke seluruh saksi apakah terdakwa menjual kondotel? Apakah saksi membeli kondotel? Itu dalam semua surat pesanan dan PPJB jelas tertulis bahwa pengembang menjual apartemen/satuan hunian rumah susun bukan kondotel. Namun, unit apartemen yang nantinya dioperasikan sebagai hotel disebut kondotel.

“Logika hukumnya begini bahwa showroom menjual mobil dan mobil yang nantinya difungsikan sebagai angkot disebut angkot. Dan hal itu bukan berarti showroom menjual angkot. Tidak ada satu bukti pun yang menerangkan terdakwa menjual kondotel. Terdakwa menjual unit apartemen/satuan unit rumah susun yang nantinya dioperasikan sebagai hotel yang dioperasikan oleh Aston (disebut kondotel). Mana ada tanda bukti hak kondotel? Yang ada adalah tanda bukti hak berupa HMSRS atau SKBG. Ini yang tidak dimengerti oleh JPU sehingga berulang-ulang mengarahkan saksi seolah-olah Terdakwa menjual kondotel dan tidak ada ijin IMB kondotel,” ucap H. Onggowijaya, SH MH.

Berdasarkan acara persidangan di PN Tangerang, pokok utama materi unsur melawan hukum yang ingin dibuktikan JPU adalah Terdakwa memasarkan unit pada tahun 2013 dan 2014 sebelum adanya IMB yang terbit 29 Desember 2014. JPU menanyakan ke saksi konsumen, apakah pemasaran yang dilakukan oleh terdakwa sebelum atau sesudah terbitnya IMB? Dan, saksi konsumen menjawab bahwa mereka melakukan pemesanan unit sebelum terbit IMB, tetapi menandatangani PPJB setelah terbitnya IMB yaitu pada tahun 2015 dan 2016.

“Satu hal lagi yang kami sesalkan adalah ketidakmengertian penyidik dan JPU terhadap hukum property khususnya untuk high rise building (apartemen). Perkara ini kan terkait dengan rumah susun, sehingga tentu harus tunduk dengan UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, jadi artinya ini kan Lex Specialist yang mana perlindungan hak-hak konsumen apartemen itu masuk dalam ruang lingkup UU Rumah Susun, coba baca paragraph terakhir penjelasan umum UU Rumah Susun yang menyatakan bahwa UU Rumah Susun mencakup perlindungan konsumen rumah susun. Jika masalah keterlambatan serah terima dan bangunan sudah ada (Wanprestasi) dimejahijaukan maka berapa banyak pengembang yang telat serah terima bisa diadili?” Begitu tegas Onggowijaya, SH MH.

JPU dalam perkara ini juga menjerat Terdakwa dengan pasal diantaranya Pasal 110 UU Rumah Susun dengan ancaman maksimal penjara 4 tahun. Dalam Pasal 110 UU Rumah Susun yang berbunyi :

Pelaku pembangunan yang membuat PPJB: A. Yang tidak sesuai dengan yang dipasarkan; atau
B. sebelum memenuhi persyaratan kepastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Sehingga JPU menganggap perbuatan terdakwa yang memasarkan apartemen sebelum terbit IMB adalah unsur melawan hukum baik dalam delik dakwaan pada KUHP maupun UU Rumah Susun.

“Kekeliruan utama penyidik dan JPU adalah menganggap pemasaran dan pembuatan PPJB adalah hal yang sama, padahal dua hal itu berbeda. Tindakan pemasaran sebelum pembangunan diperbolehkan dengan syarat ada IMB karena ketentuan ini adalah ketentuan yang bersifat mengatur (aanvullend) bukan memaksa (dwingen recht), apa bedanya? Bedanya kalau ketentuan yang mengatur itu boleh disimpangi karena tidak ada sanksi pidananya dan ketentuan yang memaksa tidak boleh disimpangi karena ada sanksi pidananya. Yang tidak boleh itu adalah membuat PPJB sebelum ada IMB karena ada sanksi pidananya, nah saya akan kembali bertanya nanti ke JPU, memasarkan apartemen sebelum ada IMB boleh tidak? Coba baca dulu Pasal 42 dan 43 UU Rumah Susun, jelas sekali itu bedanya! Yang lebih lucu lagi, pasal 110 UU Rumah Susun itu sudah dicabut November 2020 oleh UU Cipta Kerja (Omnibus Law), tetapi penyidik masih melakukan penyidikan pada Maret-April 2021 untuk menjerat terdakwa dan fokus pada pasal 110 UU Rumah Susun, masak penegak hukum tidak paham Pasal 1 Ayat 2 KUHP? Mau dibawa kemana negara ini jika hukum bisa semau-maunya, penyidik dan JPU-nya harus diperiksa mengapa bisa menyidik dan membuat dakwaan dengan pasal yang sudah dihapus Pemerintah? Apakah atasan penyidik tidak melakukan pengawasan sebagaimana mestinya? Mengapa penyidik melakukan penyidikan dan JPU membuat dakwaan dengan melanggar asas-asas hukum pidana Lex Certa, Lex Scripta dan Lex Stricta? Ada apa ini? Siapa yang bermain dalam kasus ini sehingga penyidikan dan membuat dakwaan dengan pasal yang sudah dihapus? Bapak Kapolri dan Bapak Jaksa Agung, Bapak Jamwas, dan Bapak Jamintel harus mengevaluasi profesionalisme penyidik dan penuntut umum dalam perkara ini,” kata H. Onggowijaya, SH MH.

“Kami juga baru menemukan bukti adanya dugaan perampasan dan dugaan penggelapan 2 unit mobil terdakwa berupa mobil Alphard dan Innova yang terjadi pada tahun 2018 oleh oknum konsumen. Dan, dalam hal ini kami akan segera memproses hukum perkara ini. Bayangkan mereka minta sertipikat dikasih, minta surat kuasa jual proyek dikasih, beberapa konsumen minta kembali uang dikasih, ada yang minta uang 90.000 Singapore Dollar dalam masa PKPU dikasih dan yang lucunya oknum konsumen yang sudah dikembalikan utuh uangnya 90.000 Singapore Dollar masih mendaftarkan tagihannya di proses kepailitan, ini kan membuktikan mau mencari untung ditengah kasus. Kami akan meminta kurator segera bertindak demi kepentingan konsumen lainnya terutama terkait dengan pengembalian uang semasa dalam PKPU karena apa yang terungkap di persidangan ini adalah alat bukti. Kami juga berharap publik tahu seluruh rangkaian peristiwa carut marut proyek Grand Eschol PT. Mahakarya Agung Putera ini,” tutup Onggowijaya, SH MH.

Persidangan kasus ini akan masih berlanjut dengan keterangan saksi-saksi dan ahli pada pekan-pekan berikutnya di Pengadilan Negeri Tangerang. Dari seluruh keterangan saksi dan bukti baik yang dihadirkan oleh JPU dan Penasihat Hukum Terdakwa semakin membuat permasalahan hukum ini terang benderang sehingga dapat mendatangkan kepastian hukum yang berkeadilan. ■ RED/AGUS SANTOSA

Related posts

Jenis Tabung Portable, POLRES PELABUHAN TANJUNG PRIOK Bongkar Pengoplosan Gas 3 Kg Subsidi

Aneh Pelapor Tak di ‘BAP’, KUASA HUKUM AKHMAD TAUFIK SH : “Perkaranya Ini Jelas Menabrak KUHP”

Di PN Jaksel, KUASA HUKUM ‘INET’ DIRJA Ajukan Gugatan ke Bank Victoria Atas Dugaan Lelang Ilegal Aset Strategis