25.2 C
Jakarta
22 November 2024 - 06:36
PosBeritaKota.com
Entertainment

Ditulis Secara Dramatis & Bergaya Populer, HANNOENG M NOER Memotret Tragedi Priok 1984 lewat Novel ‘Angin Masa Lalu’

POSBERITAKOTA (JAKARTA) – Ada beberapa kejadian atau kerusuhan bernuansa SARA yang pernah terjadi di Indonesia. Kerusuhan yang tentu saja memakan ongkos yang mahal, selain harta dan bahkan juga nyawa. Salah satu kerusuhan yang tidak akan hilang dalam catatan sejarah kelam Indonesia adalah Peristiwa Tanjung Priok di tahun 1984 silam.

Sebuah kejadian yang awalnya bermotif agama dan politik, kemudian berkembang menjadi kerusuhan bersifat rasial. Ratusan rumah dan toko milik kalangan Tionghoa hancur. Dan, ratusan jiwa juga melayang karena tindakan represif aparat keamanan. Dampaknya kemudian, Pemerintah Orba (Orde Baru) menahan beberapa ulama yang dianggap memicu kerusuhan itu.

Meski seakan sudah terkubur dalam alam bawah sadar yang pernah tahu dan mendengarnya, namun peristiwa atau Tragedi Tanjung Priok 1984 itu tak luput dari pandangan kreativitas para seniman. Hampir tak ada karya seni yang memotret kejadian itu secara faktual. Entah karena dianggap kurang menarik atau karena ada rasa sungkan (bahkan takut) pada institusi keamanan, karena memang peristiwa Tanjung Priok 1984 itu sangat erat kaitannya dengan tindakan diluar hukum atau kesewang-wenangan dari aparat.

Hannoeng M. Noer menuliskan kejadian itu di dalam novel berjudul ‘Angin Masa Lalu‘. Tragedi berdarah itu dituliskan secara dramatis namun tetap dalam kerangka atau bentuk yang popular. Mantan wartawan hiburan di mingguan Pos Film (Pos Kota Group) dan sekarang tergabung di organisasi PaSKI (Persatuan Seniman Komedi Indonesia) dan MPP (Majelis Pengajian Pelawak), di samping aktif menggarap program komedi dan dokumenter ini menjadi saksi langsung dari Tragedi Priok 1984, sehingga ia mampu merekam setiap kejadian sebelum, saat dan setelah kejadian berlangsung.

Di tahun-tahun saat Tragedi Priok 1984 itu ada, hubungan sosial antara masyarakat pribumi dan keturunan (Tionghoa atau Cina) berjalan kurang harmonis. Ada kecemburuan sosial dari masyarakat pribumi terhadap masyarakat keturunan – yang salah satunya akibat perlakuan dari aparat dan Pemerintah yang terkesan memberikan privelage terhadap masyarakat keturunan. Masyarakat Tanjung Priok yang keras kesehariannya, sebagaimana layaknya masyarakat pesisir, dengan gampang terpicu untuk melakukan tindakan keras di dalam mengekspresikan ketidak-sukaan atau ketidak-setujuan atas sesuatu.

Wajah disharmoni hubungan antara warga pribumi dan keturunan itu diwujudkan oleh Hannoeng dalam novelnya melalui interaksi asmara tokoh utama novel ini, yaitu Manta dan Jenny. Manta adalah mahasiswa aktivis politik sekaligus pengajian, namun juga larut di dalam bentuk khas tata pergaulan di Tanjung Priok yang seringkali bersentuhan dengan nilai-nilai yang menabrak etika atau moralitas yang berlaku di masyarakat. Sementara Jenny adalah gadis Cina yang sangat diprotect oleh keluarganya secara sosial. Pada saat menjelang Tragedi Priok 1984 itulah mereka berpacaran. Dan, akibat dari Tragedi Priok itu pulalah yang memisahkan mereka secara fisik dan jiwa.

Hannoeng M. Noer juga secara dramatis mengangkat fakta dari bagaimana liarnya para perusuh menghancurkan properti dan bahkan merampas harta dan jiwa kalangan pendatang. Selain itu juga diungkap tentang bagaimana para aparat meredam tindakan liar itu secara amat sangat represif, sehingga menimbulkan korban ratusan orang mati. Salah satu korbannya adalah Amir Biki, dai yang dianggap menggerakkan massa untuk menyerang markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0502 Jakarta Utara, tempat beberapa jamaah ditahan dan yang dituntut pembebasannya oleh massa.

Tidak ada pemenang dalam setiap peristiwa kerusuhan, selain menimbulkan luka fisik dan batin bagi semua orang. Maka novel ini pun ditulis oleh penulisnya dalam frame obyektivitas, sebagaimana layaknya etika jurnalisme. Pengalaman Hannoeng M Noer sebagai wartawan rupanya tak bisa lepaskan begitu saja saat ia menulis novel. Maka jadilah novel ini berbentuk reportase yang berbungkus fiksi.

Novel ‘Angin Masa Lalu’ dicetak oleh penulisnya secara indie, dengan sistem POD (Print On Demand), yang dicetak sesuai dengan jumlah pemesan. Pemesanan sendiri dilakukan melalui WhatsApp (WA) langsung ke penulisnya di nomor HP. 087784881004.

Meskipun ini sistem POD bukan sistem yang baru namun bisa menjadi salah satu cara pencetakan dan penjualan buku yang efektif dalam situasi kelesuan industri literasi kita. Cara lain yang juga ampuh tentu saja adalah melalui beberapa platform digital.

NovelAngin Masa Lalu’ setidaknya telah merekam sejarah kelam terlukanya salah satu bagian terpenting dari struktur NKRI, yaitu toleransi. Tidak untuk membawa kita ke satu posisi saling menyalahkan. Tapi menjadi cermin untuk semua pihak agar bisa bersikap lebih adil dan menjaga kerukunan seluruh anak bangsa. Pelajaran penting bukan saja untuk rakyat, tetapi juga untuk seluruh pemegang kekuasaan di negeri ini. ■ RED/AGUS SANTOSA

Related posts

Selama Pandemi COVID-19, QUBIL AJ Bikin Gerakan Bagi-bagi Nasi Tiga Hari

Redaksi Posberitakota

Barang Milik Jupe Mau Dilelang untuk Amal

Redaksi Posberitakota

Setelah Dunia Akting, PUTRI DYAH Kini Kepengen Merambah Jadi Presenter

Redaksi Posberitakota

Leave a Comment

Beranda
Terkini
Trending
Kontak
Tentang