OLEH : AGUNG GIANTORO
REPOSISI Hanura percikan api yang disulut Inas Zubir (mengatasnamakan politisi senior Hanura), dengan membuat tulisan yang mendegadrasi Hanura, justru membangkitkan kader-kader muda Hanura untuk bersuara membela partainya. Sekaligus menciptakan diskursus wacana politik berbasis intelektual khususnya mengenai positioning politik Hanura pasca Pemilu (Pileg dan Pilpres).
Reposisi positioning dapat dimaknai penempatan posisi baru dalam konstelasi politik nasional, jika disederhanakan menjadi dua posisi, Koalisi atau Oposisi. Koalisi di sini yang dimaksud adalah bergabung dengan partai-partai yang mendukung pemerintahan hasil Pemilu.
Oposisi yang dimaksud adalah menjadi pihak yang berbeda dengan partai pendukung Pemerintah. Bagi Hanura pengambilan Keputusan apakah akan berkoalisi atau beroposisi terhadap pemerintahan baru Prabowo- Gibran nanti, tentu ada untung-ruginya secara politik.
- Jika berkoalisi, keuntungan yang didapat Hanura sepertinya akan sangat kecil. Dikarenakan barisan partai yang akan bergabung dengan Pemerintahan Prabowo- Gibran, diprediksi makin banyak.
Selain Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, PSI, Gelora yang sudah mengusung Prabowo – Gibran sejak Pilpres, kemungkinan besar Nasdem dan PKB juga akan bergabung, bahkan PPP terindikasi juga sedang penjajakan dengan kubu 02 untuk bergabung di pemerintahan Prabowo- Gibran.
Hampir pasti tidak ada lagi jatah
kekuasaan yang bisa diraih Hanura.
Artinya, Hanura tidak tepat untuk melakukan bargaining politik dengan pemerintahan Prabowo – Gibran, Kerugian yang di dapat Hanura sepertinya akan cukup besar, jika bergabung dengan pemerintahan Prabowo – Gibran, berupa sentiment negatif publik yang menilai Pemilu Pilpres kemarin penuh kecurangan (Pemilu terburuk dalam Sejarah).
- Jika Oposisi, kerugian Hanura menjadi oposisi tentu saja tidak mendapat jatah kue kekuasaan (kursi Menteri atau Komisaris BUMN). Namun untuk jangka menengah (5 tahun kedepan), Hanura bisa mendapat benefit politik yang cukup besar. Apabila Hanura bisa melakukan Build up Politic secara canggih, baik melalui kerja-kerja politik digrass root maupun political branding yang elegan.
Hanura bisa berkaca pada sejarah dua partai yang pernah menetapkan diri sebagai oposisi kekuasaan.
1) PDIP di Indonesia. Setelah lama.menjadi oposisi Orde Baru (dengan Golkar– nya) pasca lengsernya Soeharto dan digelarnya Pemilu demokratis pertama (tahun 1999), PDIP memperoleh berkah electoral yang luar biasa. PDIP memperoleh 33,74% suara (153 kursi), sekaligus menobatkan PDIP sebagai pemenang puncaknya.
Setelah 2004 sampai 2014 PDIP tabah menjadi partai oposisi. Pada
2014 kembali menjadi partai dengan perolehan suara terbanyak (18,95%), sekaligus menjadi Partai Penguasa (berhasil mendudukkan kadernya Joko Widodo menjadi Presiden RI).
2) PAS di Malaysia PAS (Partai Islam Se Malaysia) dengan koalisi Pakatan Harapan, setia menjadi oposisi dari partai berkuasa di Malaysia (UMNO) dengan koalisi Barisan Nasionalnya.
PAS dan Pakatan Harapan rela menderita menjadi oposisi selama puluhan tahun. Namun di pemilu 2018 terjadi keajaiban politik. PAS berhasil menumbangkan UMNO.
PAS meraih lonjakan kursi dari 18 menjadi 44 kursi. Dan, koalisinya Pakatan Harapan meraih 82 kursi. Dari 2 partai diatas (PDIP) dan PAS), kita dapat menarik Pelajaran “Menjadi Oposisi bisa membawa berkah di kemudian hari”. Asalkan dengan pertimbangan matang dan build up politik yang mumpuni.
Oleh karena itu, pernyataan Ketua Umum Hanura (OSO), bahwa Hanura akan terus bersama PDIP sesuai yang telah disepakati.
Merupakan pernyataan cerdas dari seorang politisi berkelas. Sebaliknya, pernyataan Inas Zubir (mantan fungsionaris Hanura), bahwa Hanura telah menjadi Orsap dan kacung PDIP, merupakan pernyataan idiot dari seorang politisi kolot.
Selamat atas terselenggaranya Rapimnas II Hanura. Semoga menghasilkan kebijakan politik actual demi kemenangan fenomenal di 2029. (***)
(PENULIS : AGUNG GIANTORO adalah Politisi Muda Partai Hanura dan Direktur Eksekutif Pusat Riset Indonesia)